Di Jawa Timur, Minta Hujan Pakai Cara Saling Cambuk
Minggu, 1 November 2015 - 07:49 WIB
Sumber :
- Viva.co.id/Dody Handoko
VIVA.co.id
- Tiban adalah kesenian tradisional meminta hujan di daerah Jawa Timur, sekitar Kediri, Blitar, Tulungagung dan juga Trenggalek. Pemerintah Kabupaten Kediri menetapkan waktu penyelenggaraan adalah tanggal 1 Sura, dalam rangka menyongsong tahun baru jawa.
Tiban dilaksanakan pada musim kemarau sambil memohon hujan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi ini dilakukan oleh anak-anak gembala yang berebut air untuk ternaknya pada musim kemarau panjang. Untuk memperoleh air, mereka adu kekuatan dengan menggunakan cambuk sebagai senjata.
Cambuk terbuat dari lidi aren yang di pintal dengan jumlah tertentu. Ritual ini diiringi oleh gamelan dan gendang. Ketika mereka tengah berkelahi, hujan pun turun dengan lebat.
Baca Juga :
'Ritual' Berburu Air di Desa Ini Menyedihkan
Tiban dilaksanakan pada musim kemarau sambil memohon hujan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi ini dilakukan oleh anak-anak gembala yang berebut air untuk ternaknya pada musim kemarau panjang. Untuk memperoleh air, mereka adu kekuatan dengan menggunakan cambuk sebagai senjata.
Cambuk terbuat dari lidi aren yang di pintal dengan jumlah tertentu. Ritual ini diiringi oleh gamelan dan gendang. Ketika mereka tengah berkelahi, hujan pun turun dengan lebat.
Tradisi minta hujan dengan adu cambuk ini dilakukan di Panggung yang disediakan, berukuran 6x6 meter dan dengan ketinggian dua meter. Peserta tiban hanya mengenakan celana dan tidak diijinkan mengenakan baju. Untuk menghindari hal yang membahayakan, para pemain tidak boleh mencambuk kepala dan kemaluan.
“Semakin banyak luka gores dan darah mengucur ditubuh pemain akibat cambukan maka semakin banyak hujan yang akan turun. Dalam pelaksanaannya, selain memilih waktu yang khusus, tradisi ini juga menggunakan sesaji khusus,” ujar Maksum salah satu warga.
Asal-usul Tradisi Tiban
Sejarah kemunculan tiban dimulai masa kerajaan Kediri. Kala itu seorang raja otoriter, yang ingin disebut dewa, berkuasa. Raja Kediri itu bernama Kertajaya. Wilayah kerajaan Kediri termasuk kademangan Ngimbang (sekarang Ngadiluwih), mempunyai 4 kademangan yaitu Kademangan Ngimbang, Megalama, Jimbun dan Ceker.
Rakyat menurut perintah Raja bukan karena patuh melainkan karena takut. Meskipun diperintah oleh sang raja yang otoriter namun keadaan masyarakat makmur, segala masalah diselesaikan secara gotong royong. Masyarakat yang lebih dahulu panen membagi kepada tetangga, namun sayang kepribadian yang demikian tidak dapat perhatian oleh rajanya. Bahkan Brahmana pun diminta untuk menyembah dan mendewakan dia.
“Matahari berputar, siang berganti malam, sedangkan malam dapat berganti siang”, kata para Brahmana. Artinya keadaan di dunia tidak kekal adanya. Yang semula kaya dapat juga menjadi miskin, yang gagah perkasa dapat menjadi lemah tak berdaya.
Begitu pula gambaran kerajaan Kediri yang semula dalam keadaan makmur, lumbung-lumbung desa penuh padi berangsur-angsur menipis cenderung habis. Hal ini terjadi karena kemarau berlangsung sangat panjang.
Para petani menganggur karena sawahnya tak dapat diolah, sungai-sungai mengering. Musim kemarau seakan-akan tidak ada selesainya. Segala upaya sudah diusahakan untuk mendapatkan air, namun belum dapat memenuhi kebutuhan pengairan, yang didapat hanya sebatas kebutuhan minum dan kebutuhan dapur.
Kemarau yang berlangsung panjang tersebut merupakan kutukan kepada manusia atas ketidak percayaan dan ketidaktakwaan terhadap kekuatan yang lebih tinggi. Untuk itu para demang bermusyawarah dengan para pinisepuh, beberapa usul, saran dan pendapat, untuk menebus kutukan tersebut.
Dipercaya Turunkan Hujan
Rakyat Ngimbang dengan sisa hartanya sedikit diberikan untuk digunakan sebagai syarat pelaksanaan upacara adat, bagi yang masih mempunyai padi dimohon memberikan seikat. Bagi yang memiliki lembu membawa pecutnya sebagai lambang kekayaanya.
Setelah semua siap, kemudian rakyat berkomunikasi dengan kekuatan supranatural. Memohon pengampun kepada kekuatan yang lebih tinggi, sebagai ritualnya masyarakat menyiksa diri dan berjemur dipanas terik.
Sarana ini dirasa belum dapat berkomunikasi dengan kekuatan supranatural, maka penyiksaan diri tersebut lebih dipertajam dengan menggunakan pecut yang terbuat dari sodo aren (lidi dari tumbuhan berbuah kolang-kaling/pohonnya menghasilkan ijuk).
Saat itu para peserta upacara tradisi ini saling mencambuk secara bergiliran. Sudah barang tentu dalam permainan ini banyak cucuran darah, karena kekhusukannya maka segala yang diderita tidak terasa. Dalam suasana religi inilah kemudian turun hujan yang tidak pada musimnya. Hujan yang semacam inilah yang disebut hujan tiban.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya