Mbah Mujiyat, si Penjaga Sampah dan Biogas
Kamis, 29 Oktober 2015 - 13:13 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Dua puluh kepala keluarga di Dusun Bangker, Kelurahan Kedungpane, Semarang, tak lagi bergantung pada bahan bakar minyak atau elpiji untuk kebutuhan rumah tangga. Mereka sudah menggunakan bahan bakar biogas untuk memasak. Gratis pula.
Warga dusun itu memanfaatkan biogas yang diproduksi dari sampah-sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, pusat sampah terbesar di Kota Semarang, sejak 15 Februari 2015. Energi alternatif itu ialah hasil pemanfaatan gas metana atau CH4 dari timbunan sampah.
Empat instalasi membran dibangun di area TPA Jatibarang. Pipa-pipa paralon mengalirkan biogas itu ke dua puluh rumah di Dusun Bangker yang berjarak sekira satu kilometer dari instalasi. Dari pipa-pipa itu, dapur-dapur warga mengepul hasil pembakaran biogas.
Instalasi biogas itu adalah proyek program Dinas Kebersihan Kota Semarang yang dimulai pada 15 Februari 2015. Tapi proyek itu masih uji coba. Belum ada petugas resmi yang dipekerjakan untuk merawat instalasi dan jaringannya.
Jika sewaktu-waktu ada masalah pada aliran biogas itu, warga mengadukan atau melaporkan kepada seorang pria bernama Mujiyat (56 tahun), warga setempat. Mbah Mujiyat, begitu dia disapa, kini seolah menjadi ahli instalasi pipa-pipa biogas.
Mbah Mujiyat tak punya latar belakang pendidikan tentang biogas atau pun instalasi semacam itu. Tapi dia dapat segera menemukan sumber masalah jika ada yang tak beres pada aliran biogas di rumah-rumah warga. Soalnya dialah yang setiap hari memeriksa pipa-pipa biogas itu. Dia sudah hapal masalah umum yang sering diadukan warga.
"Kadang (pipa) paralonnya pecah terinjak sapi dan alat berat. Kadang juga kehabisan air dan aliran gasnya seret (tersendat)," kata Mbah Mujiyat ditemui VIVA.co.id di sela memperbaiki pipa gas yang bocor di TPA Jatibarang, Rabu, 28 Oktober 2015.
Di kawasan TPA Jatibarang, Mbah Mujiyat sebenarnya bekerja di bagian resersi. Tugasnya adalah menjaga, menyapu kantor serta mengisi bahan bakar alat berat. Penghasilannya hanya Rp600 ribu per bulan.
Ironinya, pekerjaan mengecek dan menjaga aliran gas itu dilakukannya tanpa imbalan. Dia semula melalukan pekerjaan itu atas permintaan Kepala TPA. Awalnya hanya diminta memperbaiki kalau ada kerusakan. Tetapi belakangan malahan menjadi semacam petugas resmi pemeriksa sekaligus tukang servis.
"Saya hanya dipasrahi (diamanati) kepala TPA dan enggak dibayar. Karena tidak ada petugas khususnya, akhirnya saya yang mengurusi," kata suami Suripatun (48 tahun) itu.
Untuk memahami sistem kerja pipa gas itu, Mbah Mujiyat bahkan hanya butuh waktu singkat. Karena saban hari mengecek empat instalasi membran yang terpasang di area sampah, dia sudah cekatan memperbaiki jika ada kerusakan. Dia juga beberapa kali memodifikasi alat agar sistem kerja penyedotan gas ke rumah warga selalu lancar.
"Kadang sehari bisa mati sekali-dua kali. Warga juga sering protes ke saya. Jika malam hari mati, ya, tetap saya perbaiki, dan cari sumber masalahnya," kata Mbah Mujiyat, yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah itu.
Meski begitu, Mbah Mujiyat menganggap hal yang dilakukannya adalah wujud keikhlasan dan pengabdian kepada lingkungan masyarakatnya. Baginya, program biogas gratis kepada 20 kepala keluarga itu sangat bermanfaat. Apalagi selama puluhan tahun, tumpukan sampah di TPA Jatibarang selalu menjadi masalah yang tak kunjung terurai.
"Saya dan tetangga lain sejak sembilan bulan lalu sudah tidak perlu lagi membeli gas elpiji untuk memasak. Warga sangat terbantu saat ekonomi sulit dan elpiji mahal seperti saat ini," ujar pria tiga anak dan lima cucu itu.
Proyek pemanfaatan gas metana dari timbunan sampah itu adalah program rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan sejumlah ahli. Dalam tahap uji coba baru disalurkan kepada 20 rumah tangga di wilayah sekitar.
Menurut Kepala Dinas Kebersihan Kota Semarang, Ulfi Imran Basuki, biogas yang dihasilkan TPA Jatibarang mampu menghasilkan gas sebanyak 72 meter kubik per hari. Jumlah itu diklaim mampu memenuhi kebutuhan gas di ratusan rumah penduduk.
"Untuk area yang digunakan untuk memperoleh gas, baru 4.500 meter dari dua hektare area penimbunan sampah aktif TPA Jatibarang," ujarnya.
Pemerintah Kota Semarang kini baru menganggarkan Rp190 juta untuk realisasi program yang sudah berjalan sembilan bulan itu. Anggaran baru menghasilkan instalasi pipa ke 20 rumah warga. Meski berasal dari gas metana tumpukan sampah, energi alternatif itu merupakan energi yang aman dan ramah lingkungan.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
"Kadang sehari bisa mati sekali-dua kali. Warga juga sering protes ke saya. Jika malam hari mati, ya, tetap saya perbaiki, dan cari sumber masalahnya," kata Mbah Mujiyat, yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah itu.