Ilegal Logging Kayu Papua Masih Marak
Senin, 26 Oktober 2015 - 22:11 WIB
Sumber :
- ANTARA
VIVA.co.id
- Indonesia salah satu negara penghasil kayu terbaik di dunia. Dengan kualitas kayu yang baik dan sumber daya alam yang banyak, menjadikan Indonesia subur berbagai masalah ilegal logging. Salah satu kayu bernilai tinggi adalah Merbau asal Papua.
Juru Kampanye Hutan Forest Watch Indonesia, M Kosar, mengatakan, salah satu kasus ilegal logging yang menjadi sorotan adalah kasus Labora Sitorus. Meski di balik bui Labora dicurigai tetap bisa menjalankan bisnisnya.
"Jika sekarang ada indikasi penyelundupan kayu Merbau asal Papua ke pelabuhan di Gresik, Jawa Timur, itu tidak aneh. Karena kasus semacam ini sering terjadi. Meski bosnya sudah dalam penjara, perusahaan tetap beroperasi," katanya melalui keterang pers yang diterima
VIVA.co.id,
Senin 26 Oktober 2015.
Meski mendapat perhatian kasus Labora Sitorus, hanya bagian kecil dalam kasus ilegal loging. "Dia hanyalah kaki tangan dari oknum yang lebih besar di atasnya. Jadi masih ada yang lebih besar di atas Labora Sitorus," kata Kosar.
Ia menambahakan masalah ilegal loging menjadi kerisauan industri perkayuan nasional. Kayu illegal asal Papua umumnya berbentuk square masuk melalui pelabuhan di Surabaya, selanjutnya di olah sesuai pesanan dan kemudian di ekspor.
Baca Juga :
Ini Sikap Jokowi Soal Labora Sitorus
Dengan membanjirnya kayu ilegal merusak harga pasar. "Kayu olahan yang mengikuti aturan hukum dipastikan kalah bersaing dengan harga kayu illegal. Misalnya, harga kayu merbau illegal lebih murah Rp 2-3 juta per kubik dibandingkan kayu yang diperdagangkan secara legal," ungkap Kosar.
Tidak hanya itu hasil kajian bidang pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukan adanya potensi kerugian negara sebesar Rp5 triliun setiap tahunnya. Jika ditotal selama 12 tahun, kerugian negara mencapai Rp60 triliun.
"Peran negara belum bisa maksimal dalam mencegah illegal logging," katanya.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Tidak hanya itu hasil kajian bidang pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukan adanya potensi kerugian negara sebesar Rp5 triliun setiap tahunnya. Jika ditotal selama 12 tahun, kerugian negara mencapai Rp60 triliun.