Bung Karno ke AS, Jadi Tamu Spesial Dijemput Pesawat Mewah

Bung Karno dan Eisenhower di AS.
Sumber :
  • Dody Handoko/Viva.co.id.

VIVA.co.id - Ada sebuah cerita menarik saat Presiden Sukarno beserta 14 anggota rombongan resminya memenuhi undangan Presiden Amerika Serikat, Dwight Eisenhower. Saat itu, kunjungan kenegaraan dilakukan di Amerika Serikat, 15 Mei 1956, selama 19 hari.

Kedatangan Bung Karno disertai putranya Mohammad Guntur Sukarnoputra yang masih berusia 12 tahun disambut karpet merah dan acara penerimaan yang meriah.

Presiden Eisenhower bahkan mengirim pesawat pribadinya Columbine III untuk menjemput Bung Karno dari Bandara Hickham di Honolulu, Hawai, menuju Bandara National di Washington-DC. Wakil Presiden Amerika Serikat Richard Nixon, Menteri Luar Negeri John Foster Dulles dan pejabat-pejabat tinggi Amerika Serikat lainnya menyambut kedatangan Bung Karno dan rombongan di  Bandara National.

Suasana penerimaan di Bandara sangat ramah dan hangat karena Wapres Nixon dan Menlu Dulles telah berkunjung ke Indonesia sebelumnya. Wapres Nixon menyamakan Bung Karno dengan George Washington dan mengatakan, “Anda telah berhasil memimpin rakyatmu untuk meraih kemerdekaan, dan dalam masa damai ini Anda memimpin rakyatmu untuk mencapai kemajuan.”

Dalam buku biografi, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, banyak sekali wartawan yang mengerubuti untuk wawancara dengan dirinya. “Ada 110 orang wartawan mengadakan wawancara denganku di Amerika Serikat,” tutur Bung Karno.

Orang Amerika, kata Bung Karno, sangat ramah. Tetapi ada satu hal yang tidak disukai Bung Karno: orang Amerika terlalu takut kepada bau keringat dan napas busuk. “Sikap demikian itu yang tidak bisa kupahami,” ujar Bung Karno.

Dalam kunjungannya, Bung Karno bukan hanya sibuk dengan urusan politik dan relasi antar kedua negara, tetapi ia juga sibuk mengamati situasi dan keadaan masyarakat Amerika. Bung Karno membuat penilaian tentang wanita Amerika yang dianggapnya “agresif” dan terkadang lebih tinggi dari suaminya.

Bung Karno senang melihat-lihat toko serba ada di Amerika. Kadang-kadang, tanpa diatur dan direncakan, Soekarno mendatangi toko-toko itu. Petugas keamanan pun dibuatnya kalang-kabut.

Suatu hari, ditemani Nyonya Eric Johson—pemilik Motion Picture Association of America (MPAA), Bung Karno bahkan mengunjungi toko besar di California. Padahal, ia lakukan untuk memenuhi pesanan istrinya, kutang atau pakaian dalam wanita.

Soekarno juga mengunjungi Hollywood. Ditemani Eric Johnstone, Bung Karno bertemu dengan banyak artis Hollywood. Marilyn Monroe, artis kenamaan Holywood dan sekaligus pujaan Bung Karno, juga hadir dalam sebuah perjamuan yang digelar oleh bos Motion Picture Producers Association, Eric Johnston.

Sekalipun Bung Karno terlihat sangat menikmati kunjungannya, tetapi ia tidak larut dengan politik Amerika. Terhadap sekretaris negara AS saat itu, John Foster Dulles, Bung Karno menerankan bahwa politik Indonesia tidak akan menjadi negeri satelit dari salah satu blok: Amerika Serikat atau Uni Soviet.

Tetapi Amerika tetap saja mencap negeri-negeri berposisi netral seperti Indonesia sebagai pendukung Soviet. “Politik Amerika bersifat global. Suatu negara harus memilih salah satu pihak. Aliran yang netral adalah immoral,” kata Dulles.

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

Sikap Bung Karno juga disampaikan kepada Presiden AS, Dwight D Eisenhower, dalam sebuah pertemuan khusus di gedung putih. Ia menjelaskan keengganan menggunakan sistim kapitalisme dan demokrasi ala barat. Sebaliknya, kata Soekarno, Indonesia akan menumbuhkan suatu cara baru yang cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Sikap Bung Karno ini sejalan dengan sikapnya di dalam negeri, ketika berhadapan dengan keinginan yang hendak menjadikan Indonesia penganut demokrasi liberal. Dan saat itu, 1956, adalah tahun perjuangan mengubur demokrasi liberal di Indonesia.

Dalam pidato di depan Kongres Amerika, Bung Karno juga menegaskan seruannya untuk penghancuran nuklir. Pada bagian lain pidatonya, Bung Karno mengatakan Indonesia berterima kasih atas segala bantuan dari pihak asing, apalagi jika mempercepat jalannya perjuangan. Tetapi, kata Soekarno menambahkan, Indonesia tidak rela seujung jari pun kemerdekaannya ditukar dengan bantuan asing.

Meski mendapat sambutan yang baik, tetapi kunjungan Bung Karno kurang mencapai hasil yang diharapakan, Amerika Serikat tetap mendukung Belanda dalam urusan Irian Barat.