Kisah Bung Karno Tempeleng Delapan Pengawal
- VIVA.co.id/ Dody Handoko
VIVA.co.id - Presiden Soekarno dikenal sebagai sosok yang humanis dan suka humor. Namun, sebagai manusia biasa yang mempunyai emosi, Bung Karno bisa juga marah kepada pengawalnya. Kisah itu diceritakan di buku "Total Bung Karno" karya Roso Daras.
Â
Suatu hari di Istana Merdeka , Jakarta, Bung Karno marah sekali. Delapan orang pengawal dikumpulkan lalu ditempeleng satu per satu.
"Saya mohon Bapak sabar dulu ...," kata Mangil, salah satu korban kemarahan.
Â
Belum sampai habis bicara, Bung Karno membentak Mangil, "Diam!" Anggota pengawal yang baru saja menerima hadiah bogem mentah itu saling melihat satu sama lain dan semua ketawa kecil.
Â
Setelah kembali ke istana, Bung Karno memanggil Mangil, dan berkata, "Mangil, kau mau tidak memaafkan Bapak? Bapak meminta maaf kepada anah buahmu. Ternyata Bapak berbuat salah kepada anak buahmu."
Â
"Tidak apa-apa, Pak," jawab Mangil.
Kemudian Bung Karno merangkul Mangil. Belakangan diketahui, Bung Karno telah menerima laporan yang salah dari orang lain mengenai salah satu anak buah Mangil.
Â
Kejadian lain, seperti biasanya Bung Karno pergi sore hari bersama Ibu Fatmawati dengan mobil. Mobil Bung Karno di garasi tidak dapat di-starter oleh Pak Arif, sopirnya. Begitu tutup mesinnya dibuka, ternyata accu-nya tidak ada.
Â
Aki mobil dipakai oleh ajudannya tanpa memberi tahu terlebih dahulu kepada Pak Arif dan tanpa seizin Bung Karno. Ia pun marah. Anggota pengawal pribadi tak berani berkutik. Mereka malah bersikap sempurna dengan berdiri tegap, juga tidak berani bergerak sedikit pun, kecuali matanya yang kedap-kedip, sehingga Bung Karno tertawa melihatnya.
Â
Biasanya, kalau BK sedang marah, tidak ada yang berani menghadap, kecuali Prihatin, salah seorang anggota Polisi Pengawal Pribadi Presiden. Ketika makan bersama di Istana Tampaksiring di Bali, Bung Karno mengatakan kepada pengawalnya.
Â
"Kamu orang itu terlalu. Kalau saya sedang marah, selalu Prihatin yang kau suruh menghadap. Dia sering saya semprot dan saya tahu dia tidak salah. Saya merasa kasihan sama Prihatin. Besok kalau saya ke luar negeri, Prihatin akan saya ajak."
Â
"Lha mbok kalau saya sedang marah, yang disuruh menghadap saya seorang wanita cantik dengan membawa map surat-surat yang harus saya tanda tangani, 'kan saya tidak jadi marah. Lagi-lagi Prihatin yang datang!"
Betul saja, waktu Bung Karno pergi ke Kanada, Prihatin diajak.
Â
Bung Karno juga pernah marah sekali dan berkata, "Godverdomme. Saya tidak akan berangkat kalau kacamata Bapak tidak ada."
Saat itu, ia hendak membaca surat dalam perjalanan dari istana ke lapangan terbang Kemayoran. Ternyata kacamatanya tertinggal di istana.
Â
Suatu pagi Bung Karno jalan kaki mengelilingi istana. Dari arah kamar ajudan presiden, ia mendengar suara radio diputar keras. Ia bertanya kepada seorang pengawalnya, "Siapa itu yang nyetel radio keras-keras?" Polisi pengawal menjawab, bahwa radio itu ada di dalam kamar ajudan.
Sang presiden masuk ke ruang ajudan itu, dan berkata, "Kunnen jullie niet leven zonder radio?" (Tidak dapatkah kalian hidup tanpa radio keras-keras). Kebetulan yang ada di ruang itu Kapten Andi Jusuf, yang dijadikan umpan oleh Gandhi dan Mangil. (ren)