Sifat Kepesertaan Wajib BPJS Digugat ke MK
Kamis, 8 Oktober 2015 - 17:04 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/ Lilis Khalisotussurur.
VIVA.co.id
- Seorang pekerja swasta bernama Agus menggugat sifat kepersertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang wajib melalui uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS (UU BPJS). Ia menggugat Pasal 4 huruf g UU BPJS. Norma tersebut berbunyi, "BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip huruf g kepesertaan bersifat wajib."
"Kepersertaan yang bersifat wajib telah merugikan hak pemohon yang pada awalnya telah memperoleh jaminan kesehatan sejak 1991 sampai 2015 yang lebih baik dibandingkan jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS," ujar Agus dalam sidang uji materi UU BPJS yang dipimpin Hakim Ketua I Dewa Gede Palguna di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis 8 Oktober 2015.
Agus menjelaskan di perusahaannya PT. Bukit Muria Jaya, ia telah mendapatkan jaminan kesehatan berkelas internasional. Jaminan kesehatan tersebut bahkan 100 persen dibebankan pada perusahaannya.
Melalui kepesertaan BPJS yang wajib, perusahaan pemohon harus mengubah kebijakan jaminan kesehatannya menyesuaikan dengan aturan yang berlaku. Sehingga perusahaan membagi dua anggaran jaminan kesehatan menjadi BPJS dan asuransi yang ditunjuk perusahaan. Akibatnya standar asuransi perusahaan yang semula baik, turun kualitasnya karena perusahaan harus membagi anggarannya untuk BPJS.
Sebagai pemohon, Agus juga mengaku mengalami kerugian materiil lantaran pembayaran BPJS ditanggung 1 persen oleh pekerja dan 3 persen oleh perusahaan. Ia pun menyayangkan kualitas asuransinya yang kini di bawah standar.
Agus membandingkan pelayanan asuransi perusahaannya yang bersifat internasional dengan BPJS. Dulu dengan asuransinya itu Agus bisa menerima pelayanan di rumah sakit manapun.
Ini berbeda dengan BPJS yang mewajibkan peserta menggunakan manfaatnya di rumah sakit sesuai daerah domisili. Persoalannya, kata Agus, misalnya kala ia sakit dan tengah berada di luar domisili, maka layanan BPJS lebih sulit digunakan. Agus juga meyakini fasilitas obat dari asuransinya jauh lebih baik dibanding BPJS. Meski demikian, Agus mengaku tak mempermasalahkan kepesertaan BPJS yang bersifat wajib seandainya BPJS telah memperbaiki kualitas pelayanannya.
Atas dasar itu, Agus menilai seharusnya BPJS tidak perlu memaksakan tiap warga negara menjadi peserta jaminan sosial. Sehingga pekerja dan pemberi kerja bebas memilih perlindungan jaminan kesehatannya.
Dalam petitum, pemohon meminta agar frasa kepersertaan yang bersifat wajib itu dihapus dan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Menanggapi permohonan pendahuluan pemohon, Hakim Panel Aswanto mengatakan permohonan pemohon kurang memperlihatkan pertentangan norma undang-undang dengan UUD 1945. Tapi pemohon lebih banyak menceritakan hal yang secara faktual dialaminya.
"Kerugian yang harus saudara tonjolkan adalah kerugian konstitusional. Karena Mahkamah tidak akan melihat kerugian faktual dari kasus empirik," ujar Aswanto pada kesempatan yang sama.
Hakim Panel Suhartoyo menyatakan pandangannya jika semangat pasal yang digugat semata memperhatikan kesehatan rakyat pada umumnya. Ia menilai perusahaan pemohon memang mungkin bisa menjamin asuransi kesehatan pekerjanya, tapi perusahaan lain belum tentu bisa melakukan hal serupa.
"Kalau frasa itu dihilangkan bagaimana dengan perusahaan yang tidak secara penuh jamin kesehatan pekerjanya? Makanya kata wajib ini tidak secara universal salah. Renungkan kembali apakah anda sudah berpikir hapuskan ini. Takutnya pekerja lain tidak terlindungi karena tidak ada kewajiban dari negara. Kata wajib memang ada dua sisi, sebelah memaksa, sebelahnya melindungi," ujar Suhartoyo. (ren)
Baca Juga :
Bayi Usus Terburai Ini Butuh Ditangani di NICU
Melalui kepesertaan BPJS yang wajib, perusahaan pemohon harus mengubah kebijakan jaminan kesehatannya menyesuaikan dengan aturan yang berlaku. Sehingga perusahaan membagi dua anggaran jaminan kesehatan menjadi BPJS dan asuransi yang ditunjuk perusahaan. Akibatnya standar asuransi perusahaan yang semula baik, turun kualitasnya karena perusahaan harus membagi anggarannya untuk BPJS.
Sebagai pemohon, Agus juga mengaku mengalami kerugian materiil lantaran pembayaran BPJS ditanggung 1 persen oleh pekerja dan 3 persen oleh perusahaan. Ia pun menyayangkan kualitas asuransinya yang kini di bawah standar.
Agus membandingkan pelayanan asuransi perusahaannya yang bersifat internasional dengan BPJS. Dulu dengan asuransinya itu Agus bisa menerima pelayanan di rumah sakit manapun.
Ini berbeda dengan BPJS yang mewajibkan peserta menggunakan manfaatnya di rumah sakit sesuai daerah domisili. Persoalannya, kata Agus, misalnya kala ia sakit dan tengah berada di luar domisili, maka layanan BPJS lebih sulit digunakan. Agus juga meyakini fasilitas obat dari asuransinya jauh lebih baik dibanding BPJS. Meski demikian, Agus mengaku tak mempermasalahkan kepesertaan BPJS yang bersifat wajib seandainya BPJS telah memperbaiki kualitas pelayanannya.
Atas dasar itu, Agus menilai seharusnya BPJS tidak perlu memaksakan tiap warga negara menjadi peserta jaminan sosial. Sehingga pekerja dan pemberi kerja bebas memilih perlindungan jaminan kesehatannya.
Dalam petitum, pemohon meminta agar frasa kepersertaan yang bersifat wajib itu dihapus dan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Menanggapi permohonan pendahuluan pemohon, Hakim Panel Aswanto mengatakan permohonan pemohon kurang memperlihatkan pertentangan norma undang-undang dengan UUD 1945. Tapi pemohon lebih banyak menceritakan hal yang secara faktual dialaminya.
"Kerugian yang harus saudara tonjolkan adalah kerugian konstitusional. Karena Mahkamah tidak akan melihat kerugian faktual dari kasus empirik," ujar Aswanto pada kesempatan yang sama.
Hakim Panel Suhartoyo menyatakan pandangannya jika semangat pasal yang digugat semata memperhatikan kesehatan rakyat pada umumnya. Ia menilai perusahaan pemohon memang mungkin bisa menjamin asuransi kesehatan pekerjanya, tapi perusahaan lain belum tentu bisa melakukan hal serupa.
"Kalau frasa itu dihilangkan bagaimana dengan perusahaan yang tidak secara penuh jamin kesehatan pekerjanya? Makanya kata wajib ini tidak secara universal salah. Renungkan kembali apakah anda sudah berpikir hapuskan ini. Takutnya pekerja lain tidak terlindungi karena tidak ada kewajiban dari negara. Kata wajib memang ada dua sisi, sebelah memaksa, sebelahnya melindungi," ujar Suhartoyo. (ren)
Baca Juga :
28 Orang Pegang Kartu BPJS Palsu di Koja
Kasus ini terbongkar saat korban berobat di Puskesmas Koja.
VIVA.co.id
6 Agustus 2016
Baca Juga :