Kisah Anak Betawi yang Jadi Imam Masjidil Haram
Jumat, 4 September 2015 - 06:36 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Dody Handoko
VIVA.co.id
- Sejak abad ke-18 orang Betawi banyak yang pergi ke kota suci Mekah. Mereka menjalankan ibadah haji. Namun karena perjalanan yang begitu sulit, banyak yang tidak kembali ke tanah air dan bermukim di Mekah.
Budayawan Betawi Alwi Shahab dalam tulisannya menyebutkan bahwa mereka yang bermukim di sana menggunakan nama Al Batawi sebagai nama keluarga. Maklum, sudah menjadi kebiasaan para pemukim ketika itu menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga.
Misalnya, Syech Abdul Somad al Falimbani dari Palembang, Syech Arsyad Albanjari dari Banjarmasin, Syech Basuni Imran al Sambasi dari Sambas, dan Syech Nawawi al Bantani dari Banten.
Pada pertengahan abad ke-19, Syech Junaid, seorang ulama Betawi, mulai bermukim di Mekah. Ia pun memakai nama al-Betawi. Ia amat termashur karena menjadi imam di Masjidil Haram.
Syech Junaid Al Betawi, yang diakui sebagai Syaikhul Masyaikh para ulama mashab Syafi’ie juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. "Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syech kelahiran Pekojan, Jakarta Barat ini," kata Alwi.
Baca Juga :
Pesan Twitter untuk Aksi Damai 4 November
Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syech Junaid. Pasangan ini menurunkan guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujitaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci.
Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syech Nawawi al Bantani dan Syech Ahmad Khatib al Minangkabawi.
Sedangkan putera almarhum guru Marzuki, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya.
Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia, seperti KH Abdullah Syafi’ie dari perguruan Assyafiiyah dan KH Tohir Rohili dari perguruan Tohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua perguruan Islam (Assyafiiyah dan Tahiriah) itu kini berkembamng pesat sekali. Keduanya memiliki sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi.
KH Abdullah Sjafi’ie wafat 3 September 1985. Bersama putera-puterinya menangani 63 lembaga pendidikan Islam. Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, kini merupakan masjid yang megah.
Mushola bekas kandang sapi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Ak-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafi’ie, perguruannya menghasilkan ribuan orang, di antara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia.
"KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Dalam diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an,” katanya.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syech Junaid. Pasangan ini menurunkan guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujitaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci.