Kisah Tragis dan Mistis di Balik Evakuasi Tragedi Trigana
- Dok. Piter warga Oksibil, Papua
VIVA.co.id - Badan SAR Nasional (Basarnas) telah resmi menutup operasi penyelamat dan evakuasi korban tragedi jatuhnya Trigana Air di Pegunungan Bintang, Papua.
Seluruh anggota yang terlibat dalam kegiatan Search and Rescue (SAR) termasuk masyarakat dan relawan telah meninggalkan rimba lokasi jatuhnya pesawat berpenumpang 54 orang itu.
Yang tersisa dari aksi heroik para pejuang kemanusiaan itu hanyalah kenangan yang tak bisa terlupakan dalam sejarah kehidupan mereka.
Terutama, bagaimana para pejuang kemanusiaan itu harus mempertaruhkan nyawa demi dapat membawa pulang jasad-jasad saudara-saudara yang menjadi korban dalam tragedi itu.
Komandan Korem 172/ PWY Kolonel Infanteri Sugiyono menceritakan, untuk dapat sampai ke lokasi jatuhnya pesawat di sekitar Kampung Antenok, Distrik Oksob, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, bukan perjalanan yang mudah.
"Tidak kayak Cipularang, di sana itu naik ke atas, turun, naik lereng, lewatin jurang," kata Sugiyono menceritakan apa yang dialaminya di Gedung Basarnas, Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis 27 Agustus 2015.
Perjalanan sangat berat karena medan menuju lokasi memang masih perawan dan terjal. Dibutuhkan waktu selama empat jama perjalanan normal dari titik kumul hingga titik bangkai pesawat ditemukan.
Selanjutnya... Muncul sosok aneh dalam kelompok...
Muncul sosok aneh
Di sepanjang perjalanan, tim harus menghadapi banyak rintangan terutama rapatnya vegetasi pohon berukuran besar yang ada di belantara itu. Jangan untuk membawa jasad korban, untuk berjalan seorang diri pun cukup sulit.
Selain itu, suhu di sekitar pegunungan sangat ektrem, suhu di waktu normal mencapai 10 hingga 14 derajat.
"Akhirnya kayu ditebangi, sehingga hanya jadi 1,5 jam, saya minta izin ke bupati dan dinas perlindungan hutan. Dinginnya di sana antara 10- 14 derajat, bahkan sempat di hari kedua 7 derajat," kata sang kolonel mengisahkan.
Tak hanya kondisi alam yang ganas yang harus dihadapi, rintangan non teknis seperti gangguan makhluk astral penunggu hutan kerap dialami.
Kolonel Sugiyono menceritakan, salah satu pengalaman mistis yang dialaminya ialah kemunculan sosok mirip manusia di dalam kelompok tim evakuasi, lalu menghilang bersama munculnya kabut.
Selain itu, cuaca di sekitar hutan juga dirasa sangat aneh, Sugiyono menuturkan, selama dalam perjalanan, hujan datang tak menentu dan sulit diprediksikan. Seketika hujan deras, lalu reda meskipun langit terlihat cukup cerah.
"Angin kencang, tiba- tiba 20 menit kemudian hujan deras, tiba- tiba kabut muncul. Lalu kata ketua adat, mengusulkan ke bupati untuk potong hewan ternak untuk doa, akhirnya kita lakukan," katanya.
Selanjutnya... Jasad bertebaran, uang di pohon...
Jasad Bertebaran
Kolonel Sugiyono mengatakan, saat pertama kali sampai di lokasi, yang ada hanya perasaan haru dan penuh duka.
Semua anggota tim menundukan wajah sembari memanjatkan doa untuk saudara-saudara penumpang Trigana Air yang telah tiada di tengah rimba Papua.
Di lokasi sejauh mata memanda yang terhampar hanya serpihan pesawat yang sebagian besar telah menghitam terbakar.
Tak ada lagi yang berharga di tempat itu selain jasad-jasad mereka yang menjadi korban jatuhnya Trigana Air. "Satu persatu jasad saudara kita dimasukan ke kantong jenazah dan dievakuasi melalui jalur yang telah dibuat saat menuju lokasi," ujar Sugiyono.
Sementara, menurut Sugiyono, uang tunai senilai 6,5 miliar yang diangkut pesawat nahas itu untuk mendanai Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) ditemukan sudah tak utuh lagi.
Uang ditemukan di atas rimbunnya pepohonan dan sebagian lagi bertebaran di antara puing-puing pesawat. "Uang itu ada di atas pohon, ada juga di bawah bertebaran," ujarnya.
Kini tragedi itu sudah berlalu, Kolonel Sugiyono hanya bisa berdoa dan berharap semoga tak ada lagi peristiwa serupa terjadi dan ia berdoa agar seluruh korban mendapatkan tempat yang tinggi di sisi Sang Pencipta.