Tiga Sinyal Hasrat Jokowi Belenggu Kebebasan Berpendapat
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id - Alianji Jurnalis Independen (AJI) menegaskan, pengekangan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi, merupakan ancaman serius bagi kebebasan pers. Presiden Joko Widodo diminta tidak membawa Indonesia, kembali ke masa Orde Baru.
Ketua Umum AJI Suwarjono dalam pernyataan tertulis, Sabtu 15 Agustus 2015, menyebut ada tiga sinyalemen yang memperlihatkan kecenderungan Jokowi, untuk mengekang kebebasan berpendapat yang mengancam kebebasan pers.
Pertama, adalah upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan kepala negara, yang sebenarnya telah dihapus Mahkamah Konstitusi, melalui rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang diajukan pemerintah ke DPR.
"Korban pertama bila pasal itu kembali diberlakukan adalah pers. Pasal penghinaan kepala negara ini lentur dan bisa ditafsirkan sesuai keinginan. Bila ada narasumber, atau media yang kritis, dengan mudah penguasa membungkam," kata Suwarjono.
AJI menyatakan prihatin dengan hasrat pemerintahan Jokowi, untuk memasukkan kembali pasal penghinaan kepala negara. Jika DPR dan membahasnya, itu akan menjadi langkah mundur yang berakibat buruk bagi kelangsungan demokrasi.
Sinyalemen kedua, adalah kriminalisasi atas kebebasan berpendapat di internet, dengan kembali dimuatnya ancaman pemidanaan terhadap kebebasan berpendapat, dalam draf revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang disusun Kemenkominfo.
"Pasal pidana sebaiknya disinkronkan dengan rancangan KUHP yang akan dibahas DPR, sehingga semua materi di UU terkait pidana cukup di KUHP," ucap Suwarjono.
Pertanda ketiga, upaya Jokowi membelenggu kebebasan berpendapat, tersirat dari pidatonya di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Jumat kemarin, 14 Agustus 2015.
Jokowi berpidato, "Lebih-lebih, saat ini, ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif."
Meski tidak eksplisit, Jokowi menempatkan dua pernyataan tendensius dalam satu paragraf yang sama, sehingga mengesankan, semua media, termasuk yang sungguh-sungguh bekerja melayani publik, sebagai kambing hitam.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Iman D. Nugroho, mengatakan ancaman pidana terhadap kebebasan berpendapat, berapa pun besarnya, tetap merupakan ancaman terhadap kebebasan berpendapat.
“Pemerintah bebal terhadap kenyataan, banyaknya warga negara tidak berdosa dimasukkan ke tahanan, karena status yang ditulis di jejaring sosial, atau karena berkeluh-kesah melalui percakapan tertutup dengan temannya,” kata Iman.
Dibungkamnya kebebasan berpendapat dan berekspresi, disebut Iman, akan memudahkan jalan mengkriminalisasi pihak-pihak yang dinilai tidak sepaham dengan penguasa. “Di negara demokratis, perbedaan pendapat yang disampaikan melalui media massa adalah hal biasa."
"Bila ada pihak-pihak yang merasa berkeberatan dengan pemberitaan, pihak yang bersangkutan seharusnya bisa menempuh prosedur Hak Jawab, atau koreksi kepada media bersangkutan. Jika tidak puas, barulah membawa persoalan itu ke Dewan Pers, bukan ke polisi,” kata Iman. (asp)