Dikritik, Menkumham Bicara Pemberian Remisi Koruptor
Selasa, 11 Agustus 2015 - 06:33 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id -
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan akan memberikan remisi kepada seluruh narapidana, termasuk napi yang terjerat kasus korupsi, narkotika, dan terorisme. Hal ini dilakukan untuk memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-70 serta dalam rangka remisi dasawarsa.
Tetapi ada napi yang tidak bisa mendapatkan remisi dasawarsa tersebut, yaitu napi yang divonis hukuman seumur hidup, hukuman mati, dan sempat melarikan diri saat menjalani masa hukuman. Setidaknya terdapat sekitar 118.000 napi yang mendapat remisi ini.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, menjelaskan bahwa pemberian remisi dasawarsa ini merupakan tradisi dan memiliki dasar hukumnya, yakni Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120 Tahun 1955 tentang Pengurangan Pidana Istimewa pada Hari Dasawarsa Proklamasi Kemerdekaan.
Remisi ini diberikan kepada seluruh napi, tanpa mempersoalkan kasus yang menjerat mereka. Termasuk napi yang terjerat kasus terorisme, narkoba, dan korupsi. Setiap narapidana kecuali yang divonis hukuman mati, hukuman seumur hidup dan yang melarikan diri mendapat remisi 1/12 dari masa hukuman dan maksimal mendapat tiga bulan pemotongan masa hukuman.
"Ini sudah tradisi, ini diberikan dalam setiap 10 tahun bernegara," kata Yasonna di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta.
Pemberian remisi terutama kepada napi kasus korupsi mendapat kritik dari pegiat antikorupsi. Pemberian remisi dinilai sejumlah pihak tidak menimbulkan efek jera dan menunjukan pemerintah lemah terhadap pelaku tindak pidana.
Yasonna menepis anggapan tersebut. Dia mengatakan, filosofi pemasyarakatan saat ini bukan menghukum, tetapi membina para pelaku pidana agar dapat kembali ke masyarakat sebagai orang baik.
"Mereka ini, enggak paham filosofi pemasyarakatan. Filosofi kita ini bukan pemenjaraan, tapi pemasyarakatan dan pembinaan. Di sini (lapas) membina penjahat dan pelanggar hukum sehingga jadi lebih baik," terangnya.
Menurut Yasonna, setiap lembaga penegak hukum telah memiliki fungsi masing-masing. Untuk itu, jika aktivis antikorupsi ingin koruptor dihukum berat, seharusnya meminta kepada penyidik yang melakukan penyidikan kasus korupsi, kejaksaan yang menuntut, dan hakim yang memutuskan. Hal itu lantaran urusan hukuman menjadi domain dari kejaksaaan dan pengadilan, bukan Lapas.
"Kalau kami tidak lakukan pekerjaan itu, berarti kami tidak bekerja. Jangan nafsu menghukum, tidak lagi lihat perubahan. Kan ada terpidana yang sudah membayar denda, sudah berbuat baik, menyesali perbuatannya dan salat lima waktu," tuturnya.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
"Kalau kami tidak lakukan pekerjaan itu, berarti kami tidak bekerja. Jangan nafsu menghukum, tidak lagi lihat perubahan. Kan ada terpidana yang sudah membayar denda, sudah berbuat baik, menyesali perbuatannya dan salat lima waktu," tuturnya.