Dewan Pers: Masalah Pimpinan KY Bisa Dimusyawarahkan
- iStock
VIVA.co.id - Kedua pimpinan Komisi Yudisial(KY) ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri terkait pencemaran nama baik kepada Hakim Sarpin Rizaldi. Diketahui pula, dua aktivis dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo dilaporkan Romli Atmasasmita atas pencemaran nama baik terhadap dirinya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pers, Bagir Manan mengatakan bahwa pasal pencemaran nama baik tidaklah efektif. Ia menjelaskan, bahwa masalah tersebut sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara musyawarah.
"Pasal pencemaran nama baik itu sangat lentur, sehingga dinilai tidak perlu. Masalah KY ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara duduk bersama-sama kalau mau. Gunakan dewan pers boleh, tapi kalau sudah masalah hukum, aparat yang menangani," katanya dalam diskusi bertema 'Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan Berekspresi Terancam' di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa 4 Agustus 2015.
Ia menjelaskan, dalam hal ini, KY menyampaikan pendapatnya dalam forum pers. Berarti, KY memang ingin diketahui oleh pihak umum.
"Ketika yang disampaikan merada tercemar nama baiknya, maka itu hak dari orang tersebut," kata mantan Ketua MA periode 2001-2008 tersebut.
Pemerintah Harus Diyakinkan
Terkait dengan kebebasan pers, Bagir Manan mengatakan bahwa kebebasan berpendapat adalah salah satu wujud dari demokrasi. Untuk itu, ia meminta kepada masyarakat harus bersama-sama meyakinkan pemerintah bahwa pers yang bebas itu sebagai sebuah keharusan.
Namun demikian, ia menjelaskan bahwa pers tentu saja bisa salah. Karenanya, dalam menyampaikan kebebasan berpendapatnya ini, pers diminta untuk tidak melupakan kode etik.
"Salah satu wujud demokrasi adalah jaminan kebebasan pers. Bersama- sama kita harus meyakinkan bahwa pers yang bebas itu sebagai suatu kemustian. Pers tentu bisa salah, kalau masalahnya menyangkut sang media, maka yang bermasalah harus ke dewan pers," ujarnya.
Sementara itu, Haris Azhar, selaku Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan(KontraS) berpendapat bahwa secara hukum Indonesia tidak ada masalah tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, karena katanya semua sudah terjamin dalam peraturan yang ada seperti UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ia menjelaskan, pemerintah yang ada sekarang, tidak belajar dari zaman orde baru dulu.
"Ada banyak ekspresi yang dilarang di zaman orde baru itu yang tidak jadi pelajaran di hari ini. Secara umum kita tidak bermasalah. Perlu diketahui, menurut catatan KontraS, ada sebanyak 200 lebih kasus terkait kebebasan pelanggaran ekspresi," kata Haris.
Lebih lanjut ia mengatakan, meski kebebasan berekspresi, berpendapat, dan menyebarkan informasi merupakan bagian dan kenikmatan dari demokrasi. Harris menjelaskan hak- hak tersebut tetap harus digunakan untuk mempromosikan hak yang lain.
"Meski ini bagian demokrasi, hak- hak ini tidak boleh digunakan untuk mencederai hak- hak yang lain," ujarnya.