BPJS Pelajari Rekomendasi MUI
Kamis, 30 Juli 2015 - 12:46 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id
- Kepala Humas Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Irfan Humaidi membantah jika Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa haram terkait BPJS Kesehatan yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip syariah.
"Itu belum bentuk fatwa, itu masih dalam bentuk rekomendasi dari MUI. Salah satunya mendorong pemerintah menggunakan prinsip-prinsip syariah," katanya ketika dihubungi VIVA.co.id , Kamis 30 Juli 2015.
Baca Juga :
28 Orang Pegang Kartu BPJS Palsu di Koja
Baca Juga :
Bayi Usus Terburai Ini Butuh Ditangani di NICU
"Itu belum bentuk fatwa, itu masih dalam bentuk rekomendasi dari MUI. Salah satunya mendorong pemerintah menggunakan prinsip-prinsip syariah," katanya ketika dihubungi VIVA.co.id , Kamis 30 Juli 2015.
Irfan menerangkan, sebelum fatwa tersebut benar-benar dikeluarkan, ia berharap MUI dan BPJS Kesehatan bisa duduk bersama memberikan penjelasan dan membahas masukan-masukan yang perlu dipertimbangkan. Nantinya, usai bertermu akan dilihat bagaimana rekomendasi, atau masukan kedua belah pihak untuk bisa diakomodasi.
"Ada poin yang mungkin belum jelas, lebih dalam, tetapi lewat, sehingga kesimpulannya sudah berbeda. Karena itu, dalam waktu dekat kami akan bertemu dengan MUI," ujar dia.
Ia menegaskan, secara prinsip ada beberapa hal di dalam ketentuan BPJS Kesehatan yang telah diatur sudah menganut prinsip-prinsip syariah.
Sebelumnya, MUI mengeluarkan fatwa bahwa BPJS Kesehatan mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Sehingga, dianggap tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Fatwa tersebut dikeluarkan setelah melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015, Komisi B2 Masail Fiqhiyyah Muashirah (masalah fikih kontemporer) tentang panduan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan BPJS Kesehatan.
MUI menganggap secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam.
Secara teknis, konsep BPJS dianggap bertentangan dengan syariah. Hal ini dilihat dari apabila terjadi keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah, dikenai denda administratif sebesar dua persen per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu tiga bulan.
Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja. Sementara, keterlambatan pembayaran Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar dua persen per bulan dari total iuran yang tertunggak. Atas alasan-alasan itulah, BPJS Kesehatan dianggap haram. (asp)
Halaman Selanjutnya
Irfan menerangkan, sebelum fatwa tersebut benar-benar dikeluarkan, ia berharap MUI dan BPJS Kesehatan bisa duduk bersama memberikan penjelasan dan membahas masukan-masukan yang perlu dipertimbangkan. Nantinya, usai bertermu akan dilihat bagaimana rekomendasi, atau masukan kedua belah pihak untuk bisa diakomodasi.