Menyedihkan, Warga di Sini Berebut Tetesan Air di Akar Pohon

Krisis air bersih di Sikka, Nusa Tenggara Timur
Sumber :
  • VIVA.co.id/Tofik Koban
VIVA.co.id
- Musim kemarau yang melanda di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur, membuat ketersediaan air semakin menipis. Yang paling memprihatinkan terjadi di Desa Done Kabupaten Sikka.


Ratusan warga setempat, kini terpaksa berebut air dari tetesan akar di pohon yang menggenang di sebuah kubangan kecil.


Aloysius Gehdo, seorang warga setempat mengaku sumber air dari tetesan akar pohon tersebut sudah ada semenjak lama dan dimanfaatkan. Sebab, sejak 2013, meski di desa mereka telah dibangun penampungan air oleh pemerintah, namun tak bisa difungsikan.


"Sudah sejak belasan tahun kami gunakan air di tetesan pohon. Bak penampung di desa selalu kosong. Padahal, kami sudah dikutip uang Rp25 ribu per warga untuk pembangunannya," ujar Aloysius, Kamis 30 Juli 2015.


Kini, pemandangan antrean ratusan warga untuk mengambil air dari tetesan air menjadi aktivitas harian warga sekitar.

Mengapa Praktik Bakar Hutan Berulang Lagi?

Demi menjaga ketersediaan, setiap warga dibatasi dua jerigen. Namun, bila tetap tak mencukupi, seluruh warga diharuskan menunggu hingga enam jam, agar air yang menetes dapat kembali mengisi kubangan.
Atasi Krisis Energi Harus dengan Kerja Lintas Sektoral


Belasan Basis Militer AS Bisa Lenyap Akibat Perubahan Iklim


Jatiluhur juga Krisis Air


Nun jauh di Pulau Jawa. Bencana krisis air juga melanda warga di dua kecamatan di sekitar waduk Jatiluhur Jawa Barat.


Waduk yang selama ini menjadi sumber air untuk Kebupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon dan DKI Jakarta, justru menjadi ancaman bagi warga di Kecamatan Sukasari dan Tegal Waru Kabupaten Purwakarta.


"Ini sangat ironis, ketika kota dan kabupaten lain bisa menikmati air dari Bendungan Waduk Jatiluhur. Justru, masyarakat saya tidak bisa menggunakan air waduk itu," kata Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.


Saat ini, demi bertahan hidup, mayoritas warga terpaksa bertahan dengan mengumpulkan air dari comberan. "Ini tidak adil, karena justru masyarakat saya yang telah berkorban, malah mereka harus menggunakan air comberan," ujarnya.



Tofik Koban/Jay Ajang Bramena/NTT/Purwakarta (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya