Menguak Tabir Pria-pria Penikmat Uang Wanita Penjaja Seks
- REUTERS/Christian Hartmann
VIVA.co.id - Setiap malam di kawasan jalan Imam Bonjol hingga Jalan Tanjung diKota Semarang, Jawa Tengah, berjejer para wanita berdandan menor. Mereka berdiri di sepanjang jalan di depan Stasiun Poncol itu sambil membawa motor.
Sejak pukul 20.00 WIB, biasanya wanita-wanita muda berparas ayu itu, mulai berdiam diri di antara kegelapan malam, menanti pria-pria penikmat seks yang singgah.
Mata mereka melirik nakal pada laki-laki yang melintas. Kadang celetukan genit terdengar memanggil laki-laki yang lewat di sana. Rata-rata mereka masih berusia muda antara 20-30 tahun.
Â
Selain menunggu dengan memakai sepeda motor, terdapat pula wanita yang hanya berdiri tanpa motor. Dengan rambut terburai, mereka selalu tersenyum nakal pada lelaki yang lalu lalang di depannya.
Jika ada laki-laki yang menghampiri, terjadilah sebuah transaksi. Dan, mereka akan menuntaskan transaksi di sebuah losmen, atau penginapan murah meriah yang berdiri tak jauh dari lokasi itu.
Sekilas perilaku wanita-wanita itu normal saja, seperti kebanyakan wanita penjaja seks lainnya. Jika bertemu laki-laki hidung belang, mereka langsung menuju hotel. Tapi ternyata yang mengejutkan, wanita penjaja seks di tempat itu, diantar langsung oleh suami mereka. Biasanya, sang suami menunggu di depan hotel sambil membawa sepeda motor.
Â
"Suaminya dari rumah mengantar ke pinggir jalan, lalu menunggu di hotel. Tujuannya mengontrol berapa kali istrinya di-booking. Jadi, setoran ke suaminya sesuai jumlah tamu istrinya. Kegiatan seperti ini, istilahnya angon bebek, atau menggembala bebek," ujar MI, seorang karyawan salah satu hotel di sekitar Stasiun Poncol, Semarang Utara.
Â
Selanjutnya... Mampu layani 6-7 tamu sehari...
Mampu layani 6-7 tamu sehari
Menurut MI, sepengetahuannya, satu satu wanita penjaja seks biasanya mampu melayani 4 - 5 tamu. Bahkan, bagi mereka yang masih muda dan berwajah cantik bisa melayani tamu hingga 6 - 7 kali.
Tarifnya yang mereka pasang untuk sekali kencan sesaat antara Rp100 ribu hingga Rp150 ribu. Bahkan, jika sudah terpaksa sampai larut malam dan tidak laku, mereka bisa banting harga.
Wanita-wanita itu, rata-rata wanita bersuami dan telah memiliki anak. Biasanya mereka tinggal di rumah sewa, atau kos-kosan tidak jauh dari lokasi mangkal.
"Mereka kos, karena secara ekonomi tidak kuat untuk membeli rumah. Kos mereka juga sederhana, sekedar kamar untuk tidur," ujar MI.
Â
Jika di Kota Semarang muncul istilah angon bebek, beda halnya dengan yang terjadi di Kabupaten Semarang. Di sejumlah lokasi prostitusi ilegal yang ada, muncul istilah Tukima,n yang artinya menurut bahasa Jawa ialah turu, laki, mangan.
Tukiman istilah bagi pria-pria yang menjadi pelindung wanita penjaja seks. Mereka adalah pria tanpa status yang menampung uang hasil jerih payah para wanita itu.
Pria-pria tersebut bukan suami, mereka disebut dengan istilah Tukiman, akronim berbahasa Jawa dari tiga suku kata, yaitu turu (tidur), laki (bercinta), dan mangan (makan). Tidak ada yang dikerjakan oleh para Tukiman selain tiga hal itu. Semua kebutuhannya telah dipenuhi oleh wanita penjaja cinta yang menjadi pasangannya.
Â
Hampir sama dengan angon bebek, salah satu syarat mutlak berpasangan dengan wanita penjaja cinta sebagai Tukiman adalah pengertian yang tidak berbatas. Ketika tamu datang, sang pria harus rela wanita yang dilindunginya. Bahkan, juga rumah kos yang dihuninya dipakai untuk melampiaskan nafsu sesaat.
Tukiman-nya biasanya pria berusia sebaya, tetapi bisa juga pria yang lebih dewasa. Mereka berasal dari luar daerah Bandungan, Kabupaten Semarang. Bahkan, ada juga beberapa Tukiman dari luar negeri misal Belanda dan ada dari Prancis.
Â
Fenomena Tukiman ini marak, setelah diketahui belasan hotel di Bandungan beralih fungsi menjadi kos-kosan para wanita penjaja seks. Sebagian besar hotel yang beralih fungsi itu adalah hotel-hotel kelas melati. (asp)