'Laut Tak Lagi Berkah, Kami Menjaring Batu Bara'
- VIVA.co.id/Harry Siswoyo
VIVA.co.id - Sungai 'cokelat' mengalir pelan menuju pantai bersama suara berisik sampan papan bermuatan mesin pompa penyemprot air.
Di siang terik menghujam itu, ratusan pemburu limbah batu bara hilang timbul di tengah aliran Sungai Air Bengkulu.
Sesekali, tangan mereka mengangkat selang besar yang menyemprotkan air. Sesaat lagi, dengan bergegas mereka merendam karung plastik berwarna hijau di dalam air keruh.
Dalam sekejap, bongkahan batu berwarna hitam pun memenuhi sebagian karung. Bercampur lumpur, mutiara hitam ini pun dibawa ke tepian, untuk ditumpuk bersama karung-karung lainnya.
Sudah hampir lima tahun ini pemandangan itu bisa disaksikan di sepanjang aliran Sungai Air Bengkulu. Sejak itu juga jumlah pencarinya pun tak pernah berkurang.
Di tepi sungai, Zainul (72 tahun), masih mengingat jelas ketika sungai itu masih mengalir jernih berpuluh tahun lalu. Warna hijau zamrud membentang dan cerita dalamnya lubuk sungai yang kadang berisi buaya menjadi ingatan kuat di mata tua Zainul.
Namun perlahan ingatannya memudar seiring keruhnya sungai sejak perusahaan batu bara di hulu sungai Rinduhati menapakkan kakinya belasan tahun silam.
"Kini sungai ini tak ubahnya cuma aliran air limbah. Lubuk-lubuk dalam berisi ikan dan buaya sungai mungkin kini sudah lenyap tertimbun lumpur dan batu bara," ujar kakek yang tinggal di Pasar Bengkulu ini.
Laut Tak Lagi Berkah
Di hari lain. Masih di tengah terik, Slamet (33 tahun), meneduhkan diri di bawah rindangnya Cemara Laut.
Sekujur tubuhnya kuyup usai berendam di Air Bengkulu. Kepalanya disandarkan di tumpukan karung berisi batu bara.
Rencananya petang nanti, ia akan menjual hasil berburunya kepada tauke pengumpul.
"Mudah-mudahan jadi (dibeli). Lumayan, sekarungnya (berkisar 50 kilogram) dihargai Rp50 ribu sampai Rp75 ribu," ujarnya sembari menepuk-nepuk karung lembab yang sudah dikumpulkan sejak pekan lalu.
Empat tahun lalu, lelaki berkulit legam ini adalah nelayan lokal yang kerap menjaring ikan di laut. Sejak lahir ia mengaku mengenal laut dan segala jenis isinya.
Bermula dari penarik kapal nelayan saat mendarat di bibir pantai hingga menjadi nahkoda di kapal kecil dilakoni Slamet.
Menjaring ikan dan menjualnya ke pasar sudah menjadi garis hidup Slamet. Dari situ juga ia bisa membiayai keluarga kecilnya.
Anak pertamanya sekarang sudah kelas IV di sekolah dasar, sementara yang bungsu masih berusia tiga tahun. Sedang istrinya menjadi penjual ikan hasil tangkapan Slamet, di pasar.
"Sekali berangkat, saya dan dua rekan bisa mengumpulkan paling sedikit 100 kilogram. Seluruh kebutuhan bisa terpenuhi cuma dari ikan saja," ujar Slamet sembari membetulkan sandaran kepalanya di tumpukan batu bara.
Namun, kini semua sudah berubah. Ikan-ikan berlarian ke tengah. Tiga hari mengarung pun belum tentu bisa meraup ikan barang 50 kilogram.
Sampan-sampan kecil nelayan sudah tak bisa lagi menembus gelombang di tengah laut. Sekalipun sudah menggunakan solar cadangan, rumah-rumah ikan yang konon katanya di tengah laut sangat riskan dijangkau.
Ratusan nelayan tradisional di sepanjang pesisir pantai Bengkulu pun jatuh mental. Mengarung laut kini bak menyerah nyawa. Ikan tak didapat justru utang yang melilit leher.
Maklum, karena keterbatasan modal, banyak nelayan berutang dulu solar sebelum berangkat. Nanti, sekembali dari melaut, hasil jual ikan baru dibayarkan ke solar. Sisanya baru untuk makan dan belanja harian.
"Laut tak lagi berkah. Cuma nelayan berduit yang punya mesin kapal kuat bisa melaut. Kalau macam kami, mati saja melaut. Kalau tak mati hanyut, ya mati terlilit utang," kata Slamet.
Ia tak mengetahui persis kenapa ikan di laut kini menghilang. Lubuk-lubuk karang yang dulu dikenalnya pun hilang. Sementara laut terus bertambah dalam.
"Kami tak pernah gunakan bom ikan atau pukat harimau. Tapi entah kenapa, ikan-ikan bak habis di laut. Susahnya bukan main cuma untuk mendapat puluhan kilo," tuturnya.
Ia hanya bisa menduga, laut berubah semakin dingin. Karena itu ikan-ikan buruannya berpindah mencari rumah baru jauh ke tengah laut ataupun tempat-tempat lain yang tak terjangkau.
Sebab itu, terhitung sejak empat tahun lalu, Slamet dan belasan nelayan tradisional lain nekat berganti profesi. Laut bagi mereka kini cuma memberi berkah untuk kapal-kapal besi dan berjaring raksasa.
Sampan-sampan yang tadinya untuk melaut akhirnya kini diparkir di tepi pantai ataupun dijual. Sebagian dari mereka pun mulai nekat membeli atau berutang mesin penyedot air lalu memodifikasinya.
"Menjaring batu bara jauh lebih menguntungkan. Risikonya juga kecil daripada melaut," kata Slamet.
Kini, Slamet dan puluhan nelayan tradisional di Pasar Bengkulu, sudah beralih profesi. Mutiara hitam yang menggunung dari sisa pencucian batu bara nun jauh di hutan yang tumpah di sepanjang aliran Sungai Air Bengkulu, menjadi tumpuan.
Jaring nilon milik mereka pun kini melapuk di dinding rumah karena tak terpakai. Istri Slamet pun ikut beralih profesi.
Ia tak lagi menjual ikan, dan kini memilih menjadi pelayan rumah makan. Meski kini tetap tinggal di pesisir pantai, namun kini melaut atau menjaring ikan, sudah menjadi kisah lampau.
"Sesungguhnya kami mencintai laut, kami senang berlayar. Namun harus bagaimana lagi. Ini soal perut. Tak mungkin kami terus melaut tapi tak membuahkan hasil," kata Slamet.
"Laut sudah berubah kini. Hidup memaksa kami ikut berubah," tutup Slamet. (ase)