Indo Belanda, dari Anak Gundik Sampai Anak Serdadu KNIL
- VIVA.co.id/ Dody Handoko
VIVA.co.id - Di Indonesia, golongan Indo-Eropa merupakan masyarakat berdarah campuran antara etnik Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, belgia) dengan etnik lokal. Status sosial waktu itu, mereka disamakan dengan orang Eropa. Orang Indo, singkatan dari bahasa Belanda yang berarti Indo-European, Eropa-Hindia.
Khusus perkawinan pribumi dan Belanda dikenal dengan istilah blasteran atau Indo-Belanda. Dalam arti yang lebih luas, Indo-Belanda adalah kata keadaan yang menerangkan sesuatu yang berhubungan dengan Indonesia dan Belanda.
Pernah dibuat dokumenter tentang orang Indo yang berjudul Tuan Papa ditayangkan oleh organisasi penyiaran VPRO di Nederland. Dokumenter televisi selama hampir satu jam itu menampilkan kisah para tentara Belanda, perempuan Indonesia yang menjadi kekasih mereka, dan anak-anak mereka.
Jumlah tentara Belanda yang ditugaskan ke Indonesia antara tahun 1946 sampai 1949 itu sekitar 130.000 orang. Saat itu mereka banyak yang memadu kasih dengan perempuan Indonesia sehingga banyak dari mereka yang akhirnya mempunyai anak.
Banyak di antara tentara Belanda itu yang baru tahu bila mereka punya anak di Indonesia bertahun-tahun justru setelah mereka pulang ke Belanda. Tapi, tak sedikit pula yang sempat menggendong anaknya ketika masih bayi. Kebanyakan tentara Belanda itu terpaksa meninggalkan anak mereka saat harus pulang ke negara asal. Mereka lalu menikah lagi dengan perempuan Belanda.
Tahun 1945 sampai dengan 1950 setelah mendeklarasikan kemerdekaannya dari kerajaan Belanda, kondisi Indonesia masih simpang siur. Pada saat itu kebanyakan orang Belanda meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negeri asal.
Pemerintah Indonesia yang dipimpin presiden Soekarno memberi pilihan kepada orang-orang keturunan Belanda yang disebut 'Indo'. Boleh menetap di Indonesia atau pergi ke Belanda selamanya.
Aturan lainnya adalah bagi orang-orang Indo yang saat itu berada di Belanda tidak bisa kembali lagi ke Indonesia. Sebab, pemerintah Indonesia sudah mencabut paspor mereka yang berstatus berkewarganegaraan Hindia-Belanda.
Tapi, banyak pula orang Indo itu yang kehilangan dokumen penting mereka seperti paspor. Sehingga banyak orang 'Indo' yang tinggal di Indonesia dan tidak bisa kembali ke negeri Belanda.
Kebanyakan orang 'Indo' berkewarganegaraan Belanda, namun mereka tidak bisa membuktikan kewarganegaraan mereka dengan suatu dokumen lantaran kehilangan dokumen (paspor).
Alhasil, mereka harus menetap di Indonesia dan kehilangan hak mereka sebagai warna negara Belanda seperti, uang pensiun; uang tunjangan sosial; dan lain-lain yang lazim diterima warga negara Belanda.
Sampai sekarang banyak orang Indo berusia lanjut yang tinggal di kota-kota besar di Indonesia seperti di Surabaya. Mereka pada umumnya hidup dalam kemiskinan, tak diurus pemerintah Belanda. Padahal, mereka memiliki nama Belanda dan masih bisa berbahasa Belanda, meski dengan aksen bahasa Indonesia atau bahasa Jawa.
Awal mula keturunan Indo dimulai sejak VOC menancapkan kukunya di Batavia. Dalam buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, penulis Reggie Baay, menuliskan awal masa kolonisasi Hindia Belanda. Dituliskan para pejabat Belanda datang tanpa disertai istri. Ini menjadi alasan mereka untuk mencari pasangan wanita pribumi yang dikenal dengan istilah gundik atau Nyai.
Keberadaan nyai sepenuhnya karena kepentingan seksual dan status sosial pejabat kolonial di tanah Hindia. Dari sisi ekonomi, seorang Nyai berada diatas rata-rata. Nyai memakai baju indah, juga tusuk konde emas.
Tapi dari sisi moral, Nyai dianggap rendah. Tapi, jika sang Nyai pandai, ia bisa mengangkat derajat keluarganya dari kemiskinan. Mempekerjakan saudaranya hingga mendapat kepercayaan penuh seputar uang.