Daftar Panjang Kekerasan Anak, Ini Penyebabnya
- ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
VIVA.co.id - Dalam beberapa bulan terakhir ini kasus kekerasan terhadap anak semakin menjadi.
Belum selesai dikejutkan ada orangtua yang tega menelantarkan dan melakukan kekerasan terhadap lima anaknya di Cibubur, Bekasi Selatan, rasa kemanusian terusik dengan kasus pembunuhan Engeline.
Bocah perempuan delapan tahun itu dikubur di belakang rumah orangtua angkatnya di Denpasar, Bali.
Baru-baru ini terkuak lagi dugaan tindakan penganiayaan ibu kandung kepada anak laki-lakinya di Cipulir, Jakarta Selatan, yang sudah berlangsung tahunan.
Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris, Senin 6 Juli 2015, mengatakan masih banyak orangtua yang tak paham bahwa sebenarnya mereka sedang melakukan kekerasan terhadap anak.
"Artinya, dia sudah melakukan tindakan kriminal dan bisa dipidanakan. Mereka menganggap melakukan tindakan kekerasan kepada anak adalah urusan internal keluarganya, sehingga orang lain, apalagi negara, tidak boleh ikut campur,” kata Fahira.
Fahira mengatakan, walau Indonesia sudah 13 tahun punya UU Perlidungan Anak (UU No. 35/2014 tentang Perubahan atas UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak), tetapi pemahaman masyarakat terhadap UU ini sangat minim.
Bahkan, dari hasil dialog Fahira dengan banyak orangtua, mereka tidak tahu sama sekali ada UU Perlindungan Anak. Sehingga tak heran, kekerasan fisik, seksual, dan psikologis terhadap anak dengan berbagai macam cara meningkat tiap tahun.
Bahkan, banyak pelaku kekerasan terhadap anak ternyata adalah orang-orang terdekat. Kondisi ini makin diperparah dengan keraguan masyarakat melapor ke pihak berwenang jika di lingkungannya ditemukan indikasi orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak.
“Rumah dan orangtua itu harusnya jadi ‘surga’ bagi tumbuh kembang anak-anak. Tetapi dari beberapa kasus yang terkuak, malah rumah paling banyak menjadi lokasi kekerasan anak dan orang terdekat terutama orangtua paling sering sebagai pelakunya,” kata Senator Asal Jakarta ini.
Menurut Fahira, jika saja sejak UU Perlindungan anak diberlakukan, pemerintah dan stakeholders lainnya duduk bersama menyusun dan mengimplementasikan sistem perlindungan anak, kemungkinan besar kasus kekerasan terhadap anak tidak akan semarak seperti saat ini.
Persoalan paling mendesak saat ini adalah mengubah pola pikir masyarakat terkait perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.
Fahira membayangkan, ada sistem atau cetak biru perlindungan anak yang mengharuskan semua kementerian/lembaga memiliki program-program sosialisasi perlindungan anak.
"Misalnya, Kementerian Agama punya program sosialisasi dan konsultasi bagi pasangan yang akan menikah mengenai hak-hak anak dan UU Perlindungan Anak termasuk ancaman pidananya. Atau Kominfo punya program sosialisasi yang masif bahwa kekerasan anak adalah tindakan kriminal dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara. Ini yang selama ini tidak ada di kita,” kata Ketua Yayasan Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri ini. (ase)