Indosat dan PT Pos Diduga Terlibat Kasus e-KTP
- ANTARA/Wahyu Putro A
VIVA.co.id - PT Pos Indonesia dan Indosat diduga terlibat dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik tahun anggaran 2011 dan 2012.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga telah terjadi tindak pidana korupsi dalam proyek ini. Seorang pejabat di Kementerian Dalam Negeri sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Pejabat itu adalah Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Sugiharto.
KPK masih terus melakukan penyidikan perkara ini dengan melakukan pemeriksaan sejumlah saksi. Tercatat beberapa saksi yang dipanggil oleh perkara ini berasal dari pihak PT Pos lndonesia. Bahkan, salah satunya adalah mantan Direktur Utama PT Pos Indonesia, I Ketut Mardjana.
"(Saksi dari pihak) PT Pos diperiksa karena ada kontrak PT Pos sebagai jasa pengiriman," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, Jumat, 3 Juli 2015.
Berdasarkan kontrak tersebut, PT Pos bertanggungjawab dalam pengiriman logistik ke seluruh lndonesia, seperti di antaranya finger print dan scanner. Terkait kontrak jasa pengiriman, PT Pos menjalin kerja sama dengan PT Quadra Solution, salah satu anggota konsorsium pemenang tender e-KTP yakni konsorsium PNRI.
Selain memeriksa saksi dari PT Pos, penyidik juga sempat memanggil petinggi dari pihak lndosat untuk dimintai keterangan. Ia adalah Leonardus Salim, Division Head Carriers & Partner Collection PT Indosat.
Pada proyek ini, Indosat merupakan subkontraktor dalam pengadaan chip sebagai basis penyimpanan data, terutama sidik jari dan identitas. "Indosat, tidak kontrak secara langsung, kontrak dapat dari konsorsium PNRI," ujar Priharsa menambahkan.
Selain itu, PT Indosat juga bertanggung jawab atas penyediaan jaringan komunikasi, agar sistem pendataan dapat tersambung dari kecamatan, kabupaten hingga ke provinsi dan pusat.
Diketahui, nilai proyek pengadaan e-KTP yang berasal dari tahun anggaran 2011 dan 2012 memang cukup fantastis, yakni mencapai Rp6 triliun. Dari jumlah total pagu anggaran itu, hasil hitungan KPK terkait kerugian negara pun fantastis, yakni hingga Rp1,12 triliun. Sejauh ini, KPK baru menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menjerat seorang pejabat Kemendagri, Sugiharto, sebagai tersangka.
Sugiharto dinilai paling bertanggung jawab pada pengadaan e-KTP karena dia juga adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek tersebut. Juru bicara KPK ketika itu, Johan Budi SP mengatakan, PPK proyek e-KTP bertanggung jawab atas kontrak dengan perusahaan rekanan. Selain itu, KPK juga mengendus sejumlah praktik penggelembungan harga.
"Misalnya terkait dengan harga satuan dalam konteks pengadaan e-KTP," kata Johan.
Dugaan korupsi dalam pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri itu tercium dari sejumlah kejanggalan yang ditemukan penyidik. Wakil Ketua KPK saat itu, Bambang Widjojanto memberi satu contoh simpel kejanggalan dalam pengadaan e-KTP itu yakni teknologi yang dipakai. Dalam proposal proyek, kata Bambang, teknologi yang yang dipakai adalah pemindai retina (iris technology).
"Itu untuk mata. Tapi, kemudian yang banyak dilakukan selama ini menggunakan finger (jari). Sementara, teknologi CPU-nya iris," ujar Bambang, Kamis 24 April 2014 lalu.
Nyanyian Nazar
Terungkapnya skandal pengadaan e-KTP ini tak bisa dilepaskan dari peran Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Terpidana korupsi Wisma Atlet SEA Games itu sudah beberapa kali 'bernyanyi' soal konspirasi korupsi di balik e-KTP, jauh-jauh hari.
Nazaruddin melalui pengacaranya, bahkan menyerahkan berkas dugaan markup pada proyek e-KTP yang anggarannya bersumber pada APBN 2011-2012 ke KPK pada Selasa 24 September 2013.
Usai menyerahkan laporan dugaan korupsi e-KTP, Elza Syarief selaku pengacara Nazaruddin menjelaskan, pemenang proyek pengadaan e-KTP tahun 2011 adalah konsorsium yang terdiri dari lima perusahaan BUMN dan swasta. Perusahaan tersebut adalah Perum Percetakan Negara RI, PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solution dan PT Sandipala Arthaputra. "Lead konsorsiumnya PT PNRI," ujarnya.
Tapi pada praktiknya, 60 persen pekerjaan percetakan e-KTP diserahkan PT Sandipala Arthapura. Sementara PT PNRI sebagai ketua konsorsium yang seharusnya mengendalikan seluruh pekerjaan secara nasional, hanya mendapat pekerjaan 40 persen. "Proses kartu e-KTP sepenuhnya oleh PT Sandipala, termasuk masalah chip," ucap Elza.
PT Sandipala sebelumnya adalah perusahaan yang dinyatakan pailit dan sudah berakhir izin kerjanya. Kemudian dibeli oleh Paulus Tanos dan kembali beroperasi. Selanjutnya, kata Elza, dari perjanjian kerja proyek tersebut ternyata PT Sandipala melanggar kesepakatan dengan mengganti kualitas chip e-KTP yang semula spesifikasinya chip STmikroST23YR12 size 12 kilobyte chipstore RSA dan diganti dengan NXP P3 size 8 kilobyte chip3des yang harganya lebih murah. Dan, tentu mutunya pun berbanding lurus dengan harganya. "Tapi justru menggunakan harga yang lebih mahal. Ini yang jadi masalah," katanya.
Selain terindikasi markup, proyek e-KTP juga diduga ada komitmen kekerabatan. Elza menduga, pemilik PT Sandipala, Paulus Tanos memiliki kedekatan dengan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi. "Kedekatannya sudah jelas dalam beberapa proyek di pembangkit listrik di Sumbar," ujarnya menambahkan.
Selain itu, kata Elza, Paulus Tanos juga terindikasi memiliki kendali dalam pembagian komitmen fee proyek e-KTP. "Sekarang dia (Paulus) ada di Singapura, dia residence di sana."
(mus)