Sangarnya Kapal Terbesar di Asia yang Pernah Dimiliki RI
- Foto: Dody Handoko/VIVA.co.id
VIVA.co.id - Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pernah memiliki sebuah kapal penjelajah ringan (light cruiser class) bernama KRI Irian dengan nomor lambung 201.
Kapal itu merupakan salah satu andalan yang digelar dalam kampanye militer untuk merebut kembali Irian Barat (sekarang Papua) dari kekuasaan Belanda. Kala itu, KRI Irian merupakan kapal terbesar yang ada di kawasan Asia.
Data tentang KRI Irian ditulis oleh Alexander Pavlov berjudul Cruisher of Indonesia dan ditulis dalam Sejarah Pengembangan dan Penggunaan Penjelajah Kelas Sverdlov.
KRI Irian adalah kapal penjelajah ordzhonikidze dari armada Baltik angkatan laut Soviet yang dibeli oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1962. Pada saat itu, KRI Irian merupakan kapal terbesar di belahan Bumi selatan.
Kisahnya berawal dari modernisasi alutsista TNI yang dirintis Mayjen A.H. Nasution (Alm) sebagai Menko Hankam/Kasab sejak 1957. Tim dari TNI saat itu menyambangi Amerika Serikat mengajukan pinjaman untuk pembelian alutsista, tapi tidak ditanggapi.
Lalu, rombongan melanjutkan pencariannya ke Moskow dengan maksud yang sama. Proposal tersebut rupanya disetujui. Pada awal 1960, Nikita Kruschev berkunjung ke Jakarta dan menyetujui perjanjian pembelian alutsista dari Uni Soviet atas dasar kredit jangka panjang.
Pada 11 Januari 1961, pemerintah Soviet mulai mengeluarkan instruksi kepada Central Design Bureau untuk memodifikasi ordzhonikidze supaya ideal beroperasi di daerah tropis.
Pada 14 Februari 1961 kapal ini tiba di Sevastopol dan pada 5 April 1962 memulai uji coba lautnya. Pada saat itu, kru Indonesia sudah terbentuk. Mekanik kapal ini, Yathizan, kemudian hari menjadi Kepala Departemen Teknik ALRI.
Ordzhonikidze datang ke Surabaya pada 5 Agustus 1962, kapal ini dinyatakan keluar dari kedinasan AL Soviet pada 24 Januari 1963. Dalam sejarah militer Soviet, tidak pernah mereka menjual kapal dengan bobot seberat ini kepada negara lain kecuali kepada Indonesia.
ALRI yang belum pernah mempunyai armada sendiri sebelumnya kemudian belajar untuk mengoperasikan kapal-kapal canggih dan mahal ini dengan cara trial and error/coba-coba.
Kehadiran kapal ini memberikan efek psikologis bagi Kapal perang AL Belanda, terutama Kapal Induk Belanda, Kareel Doorman. Kehadiran KRI Irian juga membuat AL Belanda mengurangi kehadirannya di perairan Irian Barat.
Apalagi pada saat itu, TNI-AU juga mengoperasikan Bomber TU-16 Badger yang bisa membawa dua rudal anti kapal perang AS-1 Kennel. Rudal ini besarnya sama dengan pesawat pemburu Mig 15.
Pada November 1962 tercatat sebuah mesin diesel kapal selam rusak karena benturan hidrolis saat naik ke permukaan, sebuah destroyer rusak dan tiga dari enam boiler KRI Irian rusak.
Tinggal kenangan
Pada 1964 Kapal Penjelajah ini sudah benar-benar kehilangan efisiensi operasionalnya dan diputuskan untuk mengirim KRI Irian ke Galangan Kapal Vladivostok untuk perbaikan. Pada Maret 1964 KRI Irian sampai di Pabrik Dalzavod.
Para pelaut dan teknisi Soviet terkejut melihat kondisi kapal dan banyaknya perbaikan kecil yang seharusnya sudah dilakukan oleh para awak kapal ternyata tidak dilakukan.
Setelah perbaikan selesai, pada Agustus 1964, kapal menuju Surabaya dengan dikawal destroyer AL Soviet.
Setahun kemudian (1965), terjadi pergantian pemerintahan. Kekuasaan pemerintah praktis berada di tangan Soeharto. Perhatian Soeharto terhadap ALRI sangat berbeda dibandingkan Soekarno. Kapal ini dibiarkan terbengkalai di Surabaya, bahkan terkadang digunakan sebagai penjara bagi lawan politik Soeharto.
Pada 1970, kapal ini mulai terisi air. Tidak ada orang yang peduli untuk menyelamatkan kapal penjelajah ini. KRI Irian akhirnya dibesituakan di Taiwan pada tahun 1972 dengan alasan kekurangan komponen suku cadang.