Kisah Karomah Abah Anom, Gelas Berisi Ikan
- VIVA.co.id/Dody Handoko
VIVA.co.id - KH A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, dilahirkan di Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1 Januari 1915. Ia adalah putra kelima Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, pendiri Pesantren Suryalaya, dari ibu yang bernama Juhriyah.
Ketika berusia 23 tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, ia berziarah ke Tanah Suci. Selama Ramadhan, Abah rajin mengikuti pengajian bandungan di Masjidil Haram yang disampaikan guru-guru dari Mekkah atau Mesir.
Ketika di Mekkah, Abah Anom terbiasa tidur di atas pasir di Masjidil Haram (pada masa itu sebagian lantai masjidil Haram masih berupa pasir) dan setiap pagi ia bangun. Ia rajin mengunjungi ribat naqsabandi di jabal Gubaisy untuk muzakarah kitab Sirrul Asror dan Ganiyyat Al-Talibin karya Sayyidi Syeikh Abdul Qodir Aj-Jaelani.
Abah pulang dari Mekkah, setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939). Ia telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan.
Pengetahuannya meliputi tafsir, hadits, fikih, kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama. Abah Anom dikenal sebagai tokoh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Ketika Abah Sepuh wafat, pada tahun 1956, Abah Anom memimpin Pesantren Suryalaya.
Banyak tersebar kisah karomah Abah Anom seperti yang dituliskan di buku-buku latar belakang dan perkembangan Pesantren Suryalaya. Ada sebuah kisah tentang Abah Anom menghadapi seorang kapten yang akan menjajal ilmu Abah Anom. Seorang kapten dan anak buahnya mendatangi Pesantren Suryalaya.
Ia membawa sebuah batu kali dari kantongnya sebesar tinju. Batu itu diletakkan di sebelah telapak tangan kirinya, kemudian tangan kanannya satu kali pukul saja batu tersebut telah terbelah dua. Dia berikan kedua belahan batu itu kepada Abah dengan sikap sombong.
Abah Anom mengambil batu itu dan meremas batu itu, kemudian jadilah batu itu hancur laksana tepung. Si kapten terbelalak matanya tetapi ia belum putus asa dan masih penasaran.
Tiba-tiba Abah Anom meminta segelas air kepada tukang masak di dapur, yang segera datang di hadapan Abah Anom. Gelas berisi air itu diberikan kepada si kapten yang dilihatnya ada ikan dalam gelas.
Kapten itu segera bergaya seperti orang yang memancing dan ikan itu seolah terkait di alat pancing. Dia tunjukkan dengan sombong ikan itu terpancing dari gelas itu kepada Abah Anom.
Tetapi, tiba-tiba di lantai, di hadapan si kapten menggeletar seekor ikan besar yang kemudian dengan isyarat jari telunjuk saja oleh Abah Anom, ikan itu seperti terkait dengan pancingan telunjuk Abah Anom.
Belum sempat sang kapten menunjukkan ketakjubannya lagi, Abah Anom seolah memegang ketapel, dia mengarahkan ketapel itu ke atas atap rumah dan sesudah ditariknya tiba-tiba jatuhlah seekor burung yang rupanya kena tembakan ketapel.
Sang kapten bersujud di depan Abah Anom, diletakkannya lututnya kepada lutut Anom Anom, mengaku kalah dan meminta maaf, serta minta ditalqinkan untuk menganut dan mengamalkan Pesantren Suryalaya.