Dahlan Akui Ada Tanah Fiktif dalam Proyek Gardu Listrik
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN), Dahlan Iskan, mengakui bahwa ada beberapa tanah fiktif dalam proyek pembangunan 21 gardu induk Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Pengakuan Dahlan tersebut terungkap melalui pernyataan pengacaranya Yusril Ihza Mahendra usai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Selasa, 16 Juni 2015.
Menurut Yusril, kliennya yang saat itu menjabat Dirut PLN sekaligus bertindak sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) baru mengetahui adanya tanah fiktif berdasarkan laporan dari anak buahnya.
"Jadi tanah gardu itu memang ada yang tidak ada (fiktif), tetapi itu kan diketahui belakangan. Pak Dahlan sendiri sebagai Dirut PLN kan menerima laporan dari bawahan oleh PPK (pejabat pembuat komitmen)," kata Yusril.
Sebagai pimpinan, Yusril mengatakan jika kliennya menyerahkan urusan terkait pekerjaan lapangan kepada anak buahnya (PPK).
"PPK sudah membuat pakta integritas. Jadi sebagai seorang top manajemen tentu (Dahlan) tidak dapat memeriksa ke lapangan," ujar Yusril.
Dengan demikian, Yusril menilai pihak yang paling bertanggungjawab adalah PPK tersebut karena dia mengklaim bahwa tanah untuk proyek pembangunan gardu induk sudah tersedia.
"Jadi kalau laporan sudah ditandatangani oleh pejabat yang menjadi tanggung jawab, sudah dipercaya oleh Pak Dahlan," katanya.
Sebelumnya, Yusril juga mengungkapkan jika kliennya berperan dalam pengajuan usulan mega proyek bernilai Rp1,06 triliun tersebut menjadi multiyears atau jangka panjang. Usulan itu disampaikan ke Menteri ESDM sebagai pengguna anggaran.
Dahlan beralasan proyek pembangunan 21 gardu induk tersebut tidak mungkin dia selesaikan dalam waktu satu tahun. Terlebih Dahlan merasa kesulitan dalam penyediaan tanah di sejumlah daerah.
Bos Jawa Pos Group tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek pembangunan 21 gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tahun anggaran 2011-2013.Dalam proyek ini, Dahlan bertindak sebagai KPA.
Proyek yang dilansir mencapai Rp1,06 triliun ini diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp33 miliar. Belakangan proyek ini justru terbengkalai.
Atas kasus ini, Dahlan diduga melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Laporan: Dianty Winda