Begini Ucapan Pengantin Laki-laki Suku Samin
- VIVA.co.id/ Dody Handoko
VIVA.co.id - Warga suku Samin masih menganut aliran kepercayaan leluhur. Mereka menjadi bagian dari ratusan ribu suku yang ada di Indonesia. Warga Samin adalah keturunan pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep.
Samin Surosentiko lah yang mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda, tanpa menggunakan kekerasan. Lantas, bagaimana adat perkawinan mereka?
Wargono, orang Sikep yang ditemui di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah mengatakan ajaran Saminisme menganggap penting perkawinan. Sebab, perkawinan merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan atmaja tama (anak yang mulia).
Dalam perkawinan menurut adat mereka, pengantin laki-laki harus mengucapkan "syahadat" yang berbunyi (kalau diterjemahkan) lebih kurang, "Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama ... Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua."
“Menikah untuk selamanya. Kecuali, yen rukune wis salin, sebutan seorang lelaki yang istrinya telah meninggal, seorang Sikep baru boleh menikah lagi,” katanya.
Jika ditanyakan jumlah anak, mereka serempak menjawab, "Loro, lanang lan wedok" (dua laki-laki dan perempuan).
Sekolah Kehidupan Warga Samin
Orang-orang Samin tak percaya pendidikan formal seperti yang dikenal umum. Sekolah yang dimaksud warga Samin adalah hamparan sawah yang hampir setiap hari mereka datangi dan menjadi sumber utama penghidupan mereka.
"Apa kang aran sekolah? Iku lak ngajarke budi pekerti lan ketrampilan. Kabeh diajarke ning pondhokane sedulur-sedulur Sikep. Ketrampilan ya diajarke ning sawah-sawah," ucap Wargono. (Apa yang disebut sekolah? Itu kan mengajarkan budi pekerti dan keterampilan. Semua diajarkan di rumah orang Sikep. Keterampilan, ya, diajarkan di sawah-sawah).
Tak ada anak wong Sikep yang disekolahkan dalam pendidikan formal. Ajaran budi pekerti dan tentu saja saminisme diinisiasikan di rumah-rumah mereka. Setiap hari, anak-anak lebih banyak melewatkan waktu dengan bermain-main di sekitar lingkungan mereka atau ikut orang tua ke sawah.
Umur, Pajak dan Agama
Jika ditanya berapa umur seorang penganut saminisme di Bombong, mereka akan menjawab dengan nada tunggal bahwa umur mereka hanya satu. Selain di KTP tidak mencantumkan umur, jawaban itu merujuk pada kepemilikan KTP yang hanya sekali seumur hidup.
"Mbah Tarno sebagai sesepuh orang sikep dulu ketika masih hidup punya KTP cuma sekali untuk selamanya. Kalau ditanya umur ya cuma satu,” ujar menantu Mbah Tarno, Bu Icuk ketika ditemui di rumahnya, dukuh Bombong, Sukolilo.
Selain umur yang luput dalam pencatatan, penerapan nama, agama dalam KTP selama ini juga tidak disepakati antara wong Sikep dan staf di balai desa. Sedulur sikep menginginkan jika agama mereka adalah agama Adam seperti yang mereka yakini. Sudah pasti itu jadi persoalan dalam pembuatan KTP yang memang tak mengenal agama tersebut. Yang terjadi selanjutnya adalah pengosongan nama agama.
Zaman Samin Surosentiko menolak membayar pajak pada Belanda. Di buku "Dangir’s Testimony: Saminis Reconsidered" yang ditulis Takashi Shiraishi, dikutip alasan yang dikemukakan pengikut Samin terhadap pemungut pajak dari pemerintah Hindia Belanda.
Intinya, mereka menolak membayar pajak sebab merasa tidak pernah menyewa tanah atau apapun ke pemerintah. Tanah yang mereka diami adalah warisan leluhur dan tiba-tiba ada orang asing datang memaksa mereka membayar. Jelas mereka menolak.
Ketika ditagih untuk membayar pajak mereka akan bertanya, tanah dan pemerintah duluan mana? Jika tidak mereka akan mengatakan bahwa pajak tanah untuk tanah. Maka mereka akan menggali lubang dan menaruh uangnya di galian itu. “Pajak untuk tanah ya diberikan kepada tanah!”
Itulah yang membuat pemerintah Hindia Belanda pusing menghadapi pengikut Samin.
Sekarang pajak bisa ditarik dari mereka. Istilahnya saja yang harus diganti. Kalau diminta membayar pajak, warga Samin akan bilang harta yang mereka punyai itu atas usaha mereka yang diwarisi sejak zaman Adam. Namun bila penarikan pajak dilakukan dengan menyebut 'urunan hasil panen,' mereka bersedia.
“Mbah Tarno mau juga bayar pajak karena yang menarik pajak bangsa sendiri bukan Belanda,” ungkap Bu Icuk.
Kini rumah-rumah mereka telah berlistrik, untuk mencari ikan misalnya, banyak dari mereka yang menggunakan pancing setrum dengan tenaga aki. Bahkan beberapa sumber di dukuh sekitarnya mengungkapkan, kini beberapa wong Sikep telah memiliki motor untuk aktivitas sehari-hari.