Ki Enthus Dalang Kreator Wayang Osama hingga Harry Potter
Senin, 25 Mei 2015 - 15:56 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Dody Handoko
VIVA.co.id
- Wayang kulit, selain menceritakan kisah Pandawa dan Kurawa, ternyata ada pula wayang kontemporer. Di antaranya wayang George Bush, Saddam Husein, Osama bin Laden, gunungan tsunami Aceh, gunungan Harry Potter, Batman, wayang alien, wayang tokoh-tokoh politik seperti Gus Dur, SBY dan Amien Rais. Pencipta wayang itu adalah dalang Ki Enthus Susmono yang juga Bupati Tegal.
Darah keluarga dalang mengalir pada diri Enthus. Dia lahir pada 21 juni 1966 di desa Dampyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, sebagai anak satu-satunya dari Soemarjadihardja -dalang wayang golek terkenal di Tegal- dengan istri ketiganya yang bernama Tarminah.
Jika dirunut ke sejarah Enthus, kakek moyangnya, yaitu Raden Mas Singadimedja juga seorang dalang terkenal dari Bagelen pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat di Mataram.
Enthus diharapkan belajar sampai perguruan tinggi agar mempunyai bekal hidup cukup. Namun darah seni pedalangan lebih menonjol dan akhirnya takdir menuntun lain. Sejak masih kecil ia justru sering mencuri kesempatan memainkan wayang milik ayahnya.
“Saya memainkan wayang kalau ayah saya sedang tidur, seusai pentas. Kalau beliau bangun, semua perlengkapan sudah saya rapikan lagi,” ujarnya ditemui di rumahnya sekaligus sanggar Paguyuban Seni Satria Laras Ragam Pergelaran Ki Enthus Susmono, Talang-Slawi, Tegal, Jawa Tengah.
Singkat cerita, ketika duduk di bangku SMP Negeri 1 Tegal, ia mengikuti kegiatan ekstrakurikuler karawitan. Enthus dibimbing gurunya, Prasetyo. Di sekolah itulah, kemahiran berkarawitan terasah yang akhirnya ia dijuliki Enthus tukang kendang. Ilmu itu ternyata menjadi pilar dasar kemahirannya memainkan gamelan dan mendalang.
Saat duduk di bangku SMA I Tegal, ia mulai mendalang dan itulah awal kreativitasnya diasah. Enthus masih ingat betul, saat itu acara lomba karya penegak pandega dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka. Ia mendalang menggunakan wayang dari batang pohon pisang dengan gamelan suara mulut dan layar diikatkan pada tongkat pramuka yang dipegangi teman-temannya.
Sedangkan lampu untuk penerangan dengan obor dan wayang pun dimainkan Punakawan. Ternyata pentas sederhana itu mendapat sambutan para guru dan teman-temannya. Lantas sejak itu Enthus sering diminta mendalang pada acara pramuka di sekolah-sekolah lain.
“Pak Mawardi, guru SMA saya, lantas meminta ke ayah saya agar diperbolehkan mendalang. Hati ayah luluh dan saya boleh mendalang, bahkan justru ayahlah yang mewisuda saya untuk menjadi dalang saat lustrum V SMAN I Tegak pada 24 Agustus 1983,” ujarnya.
Tak lama setelah mewisuda anaknya, tepatnya Februari 1984, ayahnya, Soemarjadiharja wafat pada usia 55 tahun, karena sakit. Enthus, yang masih kelas II SMA, mengambil alih peran sebagai kepala keluarga, untuk menghidupi ibu, membiayai sekolahnya dan menghidupi sebelas anak pungut sang ayah. Jadilah dia bersekolah pada pagi hari, dan malamnya mendalang untuk mendapat penghasilan.
Selepas SMA, dia diterima di Jurusan Biologi Universitas Sebelas Maret Solo lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Namun kesempatan itu tak diambilnya karena kendala dana. Dia tak lantas berputus asa, namun justru memanfaatkan relasi sang ayah untuk terus mendalang.
“Saya pernah menjadi pembuat minuman di Akademi Seni dan Karawitan Indonesia Solo selama 1984-1986. Lantas, saya menang pada Festival Dalang Remaja Tingkat Jawa Tengah di Wonogiri tahun 1988,” katanya.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Enthus diharapkan belajar sampai perguruan tinggi agar mempunyai bekal hidup cukup. Namun darah seni pedalangan lebih menonjol dan akhirnya takdir menuntun lain. Sejak masih kecil ia justru sering mencuri kesempatan memainkan wayang milik ayahnya.