Sidang Kasus JIS Hadirkan Satu Terobosan Baru, Apa Itu?
- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id - Setelah melalui rangkaian panjang mulai dari pelaporan, penyelidikan, penyidikan hingga berakhir di persidangan, akhirnya kasus kekerasan seksual dengan terdakwa dua guru Jakarta International School (JIS), Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong, sampai pada tahap vonis.
Keduanya dijatuhi hukuman masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan pada Kamis, 2 April 2015. Menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam rilisnya yang diterima VIVA.co.id Jumat 3 April 2015, putusan ini hendaknya menjadi peringatan bagi para pelaku lainnya untuk tidak berani-berani memikirkan, apalagi sampai melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
Kekerasan kepada anak akan sangat berdampak bagi masa depan anak yang menjadi korban. Apalagi, dalam kasus JIS, kedua pelaku merupakan tenaga pendidik sehingga perbuatan keduanya dianggap telah mencoreng dunia pendidikan khususnya di Indonesia.
Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Nur Aslam Bustaman yang telah telah memberi putusan 10 tahun penjara.
Putusan itu menurutnya, tentu melalui pertimbangan-pertimbangan hukum, meski pada pembacaan vonis terungkap terjadi dissenting opinion, di mana hakim ketua menginginkan keduanya dijatuhi pidana penjara 15 tahun denda Rp300 juta.
Pengungkapkan kasus hingga pembacaan vonis terhadap kedua terdakwa yang merupakan guru JIS ini, kata Semendawai, tidak lepas dari kerja keras sejumlah pihak, mulai polisi, jaksa, majelis hakim dan pihak-pihak lain yang terlibat, sehingga kerja mereka patut diapresiasi meski di tengah banyaknya tekanan.
"Majelis hakim mampu menjalankan perannya dan tidak mudah diintervensi kekuatan mana pun dalam menyidangkan kasus ini," katanya.
Terobosan
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi ikut memberikan apresiasinya kepada majelis hakim yang menggunakan model teleconference dalam mendengarkan kesaksian saksi korban anak. Dengan demikian, saksi korban anak bisa memberikan keterangan tanpa harus takut bertemu muka dengan para terdakwa.
"Model telecoference menjadi sumbangan alat bukti untuk memperkuat keyakinan majelis hakim dalam memutuskan kasus ini," kata Edwin.
Ke depan, kata Edwin, hendaknya pemberian kesaksian model teleconference bisa diterima oleh majelis hakim pada persidangan lain di seluruh Indonesia, di mana dalam kondisi tertentu, baik saksi, korban maupun saksi korban, bisa merasa aman memberikan keterangan di pengadilan.
Dalam putusan kasus JIS, hakim menyebutkan penggunaan model teleconference mengacu pada UU 13 Tahun 2006 jo UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Selain itu, yang paling terpenting, menurut Edwin, putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus dengan terdakwa dua guru JIS, Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong, diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku-pelaku lainnya.
"Ini jadi peringatan bagi pelaku lain untuk tidak melakukan kekerasan seksual pada anak karena peristiwa itu sangat berdampak bagi masa depan korban," ujarnya.
Kepada media, LPSK meminta kerjasamanya untuk tetap menjaga privasi korban dan orangtuanya dengan tidak menuliskan nama dan alamat secara lengkap, apalagi sampai memajang foto mereka. Hal ini terkait dengan masa depan mereka, selain juga diatur dalam UU.
LPSK juga membuka diri jika ada korban lain yang ingin melaporkan dan dilindungi karena bisa jadi masih ada pelaku lainnya. Demi keadilan bagi korban, jika diduga ada pelaku lain, LPSK berharap penegak hukum bisa memprosesnya.
![vivamore="Baca Juga :"]
[/vivamore]