Menilik Kehidupan Warga Konghucu di Balik Semarak Imlek
- VIVAnews/Dyah Pitaloka
VIVA.co.id - Siang itu, Kamis 19 Februari 2015, Anton Tryono beserta anak dan cucunya beribadah di klenteng Eng An Kiong di Jalan RE Martadinata Kota Malang. Setelah berkumpul sejak sehari sebelumnya, keluarga besar Anton kini ke klenteng untuk mengucap syukur serta bersilaturahmi dengan ribuan pengunjung lainnya yang merayakan Imlek.
Kegembiraan merayakan tahun baru Imlek 2566 tampak di wajah para pengunjung klenteng. Warga keturunan Tionghoa bersyukur bahwa sejak tahun 2000, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur selaku Presiden RI ke-4 mengembalikan hak sipil mereka merayakan Imlek, yang sempat dilarang sepanjang Orde Baru.
Kebahagiaan Anton semakin lengkap setelah Kartu Tanda Penduduknya (KTP) kini mencantumkan agama Konghucu di dalamnya. Meskipun, dari ribuan pengunjung yang beribadah di klenteng, hanya ratusan penduduk saja yang mau menyematkan agama Konghucu di KTP mereka. Sebagian besar khawatir anak mereka kesulitan mendapatkan pendidikan Konghucu jika pada KTP orangtua disematkan Konghucu dalam kolom agama.
"Kami berterima kasih pada Gus Dur, berkat beliau hak sipil kami yang telah terampas sepanjang Orde Baru dikembalikan," ujar Anton Tryono, di Klenteng Eng An Kiong, Malang, Jawa Timur.
Kakek kelahiran 74 tahun lalu itu mengingat, lewat Keppres Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1964. Instruksi yang ditandatangani presiden kala itu, Presiden Soeharto, menyebut berbagai kegiatan adat istiadat dan kepercayaan yang dilakukan etnis Tionghoa dianggap menjadi kendala dalam proses asimilasi di Indonesia.
"Kami adalah Warga Negara Indonesia, tapi kami tak mendapatkan hak sipil kami lebih dari 30 tahun, sebelum Gus Dur mencabutnya," kata Anton.
Kondisi ini tentu berbeda dibandingkan masa Orde Baru. Kala itu, menurut Anton, banyak pemeluk agama Konghucu beralih pada lima agama yang diakui saat orde baru. Alasannya, demi tidak mendapat permasalahan dengan aparat pemerintahan.
Mencantumkan agama Konghucu hanya akan membuat hak sipil mereka terampas. Etnis Tionghoa tak boleh merayakan berbagai hari besar agama dan tradisi secara mencolok di muka umum.
"Kami kehilangan beberapa generasi karena mereka tak lagi menyambung tradisi ke klenteng akibat aturan ini," kata Anton.
Kondisi itu diakui tak pernah membuatnya risau. Di saat hak-haknya dipasung, dia tetap merasa indetitasnya adalah Warga Negara Indonesia yang juga mencari penghidupan di Nusantara, sama seperti ratusan juta penduduk lain dari ras dan agama berbeda.
"Saya hanya sedih karena saya juga merupakan bagian dari bangsa," kata Anton.
Namun doa dan perjuangan tak henti yang digawangi oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) menghasilkan buah yang manis. Tak jauh setelahnya, pemeluk agama Konghucu kembali mendapat hadiah. Tahun 2004 presiden wanita pertama Indonesia, Megawati Soekarnoputri, menetapkan tahun baru Imlek sebagai salah satu agenda nasional yang diperingati seluruh bangsa.
"Tahun Baru Imlek jadi hari libur nasional saat presiden Megawati menjabat," kata Anton.
Sejak itu, perayaan Imlek semakin banyak diikuti etnis Tionghoa lintas agama. Anton yang sehari-hari menjadi rohaniawan di Klenteng berusia 190 tahun itu menjelaskan bahwa klenteng Tri Darma Eng An Kiong yang sebelumnya dijadikan tempat ibadah tiga agama yaitu Konghucu, Budha Mahayana dan Tao. Tapi kini menjadi tempat asimilasi berbagai pemeluk agama. Etnis Tionghoa yang beragama Kristen, Katolik, atau Islam di KTP mereka silih berganti datang ke klenteng.
Pemerintah yang terus berupaya memberikan hak dan kewajiban yang sama pada seluruh warga negaranya kembali berbenah. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejumlah aturan yang berdampak pada pemeluk agama Konghucu dan etnis Tionghoa muncul. Di antaranya aturan tentang administrasi kependudukan yang dirasakan dampaknya oleh Anton dan sejumlah penganut Konghucu di Kota Malang.
"Tahun 2006 saya gembira, saya bisa mencantumkan Konghucu di KTP saya. Kami merasa ini adalah wujud negara dalam berdemokrasi, diskriminasi pada kami sudah dihapuskan. Sebab kami adalah warga negara Indonesia yang menetap dan hidup jauh sebelum Indonesia merdeka. Klenteng ini saja usianya 190 tahun, lebih lama dibandingkan usia kemerdekaan RI yang masih 70 tahun," kata dia.
Bunsun Anton Tryono menunjukkan KTP seumur hidupnya yang menyematkan agama Konghucu
Kesulitan cari pengajar formal agama Konghucu
Sejak saat itu penggiat Konghucu di Klenteng banyak memberikan bantuan bagi umat Konghucu yang ingin mengubah kolom agama di KTP mereka. Namun hasilnya tak banyak yang berminat, meskipun setiap tanggal 1 dan 15 kalender imlek ribuan dari mereka masih datang silih berganti, menyalakan dupa dan beribadah sesuai dengan tuntutanan agama Konghucu.
"Kami mencatat ada sekitar empat ribu umat Konghucu yang datang ke klenteng. Tapi, hanya sekitar dua ratus orang saja di Kota Malang yang mau mengubah kolom agamanya. Keyakinanya Konghucu, tapi administrasinya masih Kristen, Katolik, Hindu atau Islam,” kata Anton.
Keengganan mereka, menurut Anton, lantaran tak mau repot berurusan dengan aparat Ada juga yang beralasan khawatir anak-anak mereka tak bisa mendapatkan pendidikan agama Konghucu secara formal di sekolah.
"Mereka takut, anaknya mesti belajar agama Konghucu di mana kalau mengubah agama,” kata Anton.
Sulitnya mencari guru agama Konghucu dirasakan oleh SMA Selamat Pagi Indonesia di Kota Batu, Malang. Sekolah multi etnis dan multi kultural yang berjarak sekitar satu jam perjalanan ke barat Klenteng Eng An Kiong itu belum pernah menerima siswa beragama Konghucu. Tak seberuntung siswa dari lima agama lain, sekolah tersebut mengaku kesulitan mencari guru pendidikan agama Konghucu.
Sekolah yang berdiri sejak tahun 2007 itu selalu menerima siswa dan memetakan setiap siswa berdasarkan suku, agama dan ras mereka. Meskipun jumlah siswa tak lebih dari 200 orang setiap tahun, namun mereka berasal dari Sabang sampai Merauke dan berasal dari lima agama berbeda. Praktis sekolah pun menyediakan lima guru agama berbeda untuk memenuhi hak pendidikan di bidang agama.
Seorang pelajar di SD-SMP Taman Harapan Kota Malang sedang menghias altar untuk merayakan Imlek
Tak ada satupun PNS Konghucu
Sekolah Yayasan Selamat Pagi Indonesia menyediakan beasiswa penuh dan asrama bagi 125. Namun, belum pernah menerima siswa beragama Konghucu dan kesulitan mencari guru agama Konghucu.
"Sebenarnya bagi saya tak perlu S1, yang penting berkompetensi. Selama ini yang terjadi kami tak bisa memilih karena pilihannya tak pernah ada,” kata Agus Setiadi, Sekretaris Yayasan Selamat Pagi Indonesia, Kamis 19 Februari 2015.
Lewat Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Presiden SBY menyebutkan penyediaan pendidikan agama Konghucu setara dengan kebutuhan terhadap pendidikan lima agama yang lain. Namun kenyataannya, sekolah masih kesulitan mendapatkan tenaga pendidik yang kompeten mengajarkan agama Konghucu dari tingkat sekolah dasar hingga menengah atas.
Pemerintah setempat melalui kantor kementrian agama menyebut saat ini belum ada kurikulum paten untuk pendidikan agama Konghucu di setiap jenjang. Bahkan, tak ada satupun tenaga pendidik agama Konghucu berstatus PNS di tingkat daerah hingga tingkat pusat.
"Kalau agama lain kan sudah ada diektorat jenderalnya. Kalau Konghucu, bentuknya masih Binmas (Pembinaan Masyarakat) di pusat sana. Bahkan pejabatnya juga dari agama Islam, tak ada satupun PNS yang beragama Konghucu," kata Muhammad Asadul Anam, Kepala Kemenag Kabupaten Malang.
Namun, sesuai amanat undang-undang, setiap pelajar berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama masing-masing. Kemenag pun menggandeng Klenteng Eng An Kiong untuk menyediakan waktu dan tenaga pendidik jika ada laporan dan permintaan atas guru agama Konghucu. Kemenag tak mewajibkan tingkat pendidikan pengajar, namun lebih mementingkan kompetensi dan tujuan pendidikan agama itu sendiri.
"Tidak masalah jika tidak S1 ataupun tidak ada kurikulum, yang penting anak tersebut mendapat pengajaran sesuai agama yang dipeluknya, dan mengaplikasikannya kepada masyarakat," kata Anam.
Dia menyebut, bentuk pengajaran agama Konghucu bisa berlangsung sekali dalam sepekan. Sekolah minggu itu selama ini banyak dilakukan siswa dari agama Hindu dan Budha. Jam pelajaran agama yang singkat di sekolah dan terbatasnya tenaga pendidik membuat siswa dari berbagai sekolah dikumpulkan di satu tempat dan waktu yang sama untuk mendapatkan pendidikan agama yang memadai,
"Jika siswanya sangat sedikit dan tenaga pengajar terbatas bisa dilakukan dalam bentuk sekolah minggu, sekali dalam sepekan dan dikumpulkan di tempat yang sama. Untuk Konghucu sampai sekarang kami belum menerima laporan permintaan guru pendidik. Jika ada permintaan kami akan konsultasikan dengan klenteng Eng An Kiong," kata Anam.
Kemenag berharap ada institusi pendidikan yang mampu menghasilkan tenaga pendidik agama Konghucu untuk memenuhi hak pendidikan bagi anak-anak dari keluarga beragama Konghucu.
"Itu kendalanya, selama ini belum ada sekolah agama yang bisa menghasilkan tenaga pendidik Konghucu yang kompeten," kata Anam.
Salah satu ramalan hasil jiamsi di Klenteng Eng An Kiong Malang
Berharap tradisi tak pudar
Anton Tryono sebagai rohaniawan di Klenteng Eng An Kiong tak pernah memandang umat yang datang hanya karena tradisi ataupun menunaikan agama Konghucu.
Menurut dia, siapapun yang datang dengan santun harus diterima pula dengan sikap yang serupa.
"Mereka mau sembahyang silahkan, mau tradisi monggo. Karena pilihan agama dasarnya keyakinan. Sebenarnya sembahyang adalah hal pribadi, ucapan rasa syukur pada tuhan dan kedua orangtua, karena merekalah penyebab kami ada di dunia," kata dia.
Hanya saja pemuka agama yang juga pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Malang Raya itu mulai risau dengan memudarnya rasa hormat dari generasi muda kepada mereka yang lebih tua.
Anton mencermati bahwa kini semakin banyak generasi muda mereka yang tidak memberikan salam hormat pada orang yang lebih tua ketika berpapasan. Padahal, tradisi Konghucu menekankan pentingnya penghormatan kepada leluhur dan orangtua.
"Dulu kalau berpapasan dengan yang lebih tua selalu beri hormat dengan sikap pai (menelungkupkan kedua telapak tangan di depan dada), sekarang sudah jarang. Ke depan jangan jadi ironi, dengan pengakuan dan dukungan dari pemerintah iman kita seharusnya tak boleh semakin memudar," kata Anton.
Dia berharap, generasi penerus yang lahir di tahun Kambing Kayu ini akan membawa sifat baik dan bermanfaat layaknya kambing yang telah menjadi kawan manusia. Termasuk juga akan banyak bermunculan guru pendidikan agama Konghucu di setiap TK, SD hingga SMA di Indonesia.
Sore itu asap dupa dan hio yang memenuhi klenteng perlahan membumbung ke atas dan hilang, membawa beragam doa dan harapan umatnya di Tahun Baru Imlek.
Umat sedang berdoa di Klenteng Eng An Kiong Malang