Hasil Investigasi UGM Soal Longsor Banjarnegara
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVAnews - Universitas Gadjah Mada mengirim tim investigasi ke Dusun Jemblung Desa Sampang, Kecamatan Karang Kobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Mereka melakukan investigasi terkait bencana tanah longsor yang terjadi pada Jumat 12 Desember 2014.
Hasil investigasi, daerah Kecamatan Karangkobar merupakan daerah yang rawan bencana longsor. Ketinggian lereng di sekitar lokasi bencana mencapai 100 meter dengan daya jangkau longsoran mencapai jarak 500 meter.Â
Hal itu disampaikan Dosen Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM, Wahyu Wilopo, Senin 15 Desember 2014, di ruang Multimedia, Gedung Pusat UGM.
Kata Wahyu, mengacu pada sumber peta geologi, daerah ini merupakan daerah yang sangat curam, memiliki lapisan tanah tebal yang dipengaruhi oleh proses alterasi, pelapukan yang berasal dari dalam bumi.
"Struktur geologi yang kompleks dengan ditemukan banyak jalur patahan. Kendati demikian, pemicu terjadinya longsor juga disebabkan penggunaan lahan yang kurang aman," kata Wahyu.
Menurut dia, mayoritas warga di daerah pedesaan yang memiliki tingkat pendidikan menengah ke bawah. Sehingga perlu pencerahan mengenai sistem tata guna lahan.
Oleh karena itu, tim investigas UGM mendesak agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, meninjau pengembangan sistem tata guna lahan yang dianggap belum tepat. Terutama untuk zona daerah rawan longsor dengan membangun sistem drainase yang baik.
"Sebanyak 95 persen longsor terjadi karena drainasenya tidak baik, yang dipicu curah hujan yang lebat," kata Wahyu.
Alat peringatan dini UGM
Peneliti dan pembuat alat sistem peringatan dini bencana longsor, Teuku Faisal Fathani, menambahkan beberapa kecamatan di sekitar Banjarnegara merupakan kawasan yang pernah dipasang alat deteksi longsor buatan UGM pada 2007.
Ia dan tim UGM bekerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal meneliti kerentanan longsor di Banjarnegara. Kata dia, Kecamatan Karangkobar masuk peringkat pertama daerah berisiko tinggi. Sayangnya, alat tersebut batal dipasang di Karangkobar.
"Waktu itu kami siap pasang alat deteksi dini longsor di sana, tetapi ada persoalan sosial sehingga gagal terwujud. Andai saja alat itu jadi dipasang di sana, mungkin lain cerita," kata Faisal.
Sebaliknya, alat tersebut dipasang di Pagentan. Faisal menjelaskan, alat peringatan dini itu akan berbunyi empat jam sebelum terjadinya tanah longsor.
"Alat yang kami pasang memberi peringatan dini lewat bunyi sirene. Berbunyi empat jam sebelum kejadian, sehingga tidak ada korban," jelasnya.
Alat sistem peringatan dini longsor buatan UGM ini, kata Faisal, saat ini sudah dipasang di 12 provinsi di Indonesia. Bahkan telah dipakai di beberapa negara, seperti Myanmar, Kroasia dan Vietnam.
Pemerintah, kata Faisal, perlu menerapkan teknologi sistem peringatan dini deteksi bencana longsor untuk menghindari kejadian serupa terulang setiap tahun.
"Bagaimanapun, alat deteksi dini hanyalah salah satu komponen dari upaya mitigasi. Penguatan kelembagaan, mitigasi struktural dan sosial jauh lebih penting," ujar Faisal.