Dokter: Mahkamah Agung Tak Paham Prosedur Medis
Rabu, 27 November 2013 - 13:07 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/Eric Ireng
VIVAnews
– Para dokter menuduh Mahkamah Agung tidak memahami prosedur dan kode etik dokter. Putusan MA memenjarakan tiga dokter kandungan – dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy Siagian –, karena gagal menyelamatkan nyawa pasiennya usai melahirkan, dianggap sebagai kriminalisasi terhadap dokter.
“Rekan kami korban kebodohan pakar hukum. MA tidak paham apa yang kami kerjakan. MA tidak berkonsultasi dengan para pakar kedokteran sebelum memutuskan perkara,” kata kordinator aksi solidaritas tolak kriminalisasi dokter I Gusti Ngurah di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu 27 November 2013.
Gusti yang sehari-hari bertugas sebagai dokter di RS Budi Asih itu mengatakan, apa yang dilakukan dr Ayu cs sudah sesuai prosedur. “Mereka bekerja sudah benar. Urusan kematian hanya Tuhan yang tahu. Sebagai dokter mereka telah berupaya menyelamatkan nyawa pasien. Tapi Tuhan berkata lain,” ujarnya.
Ketidakpahaman pakar hukum, kata Gusti, telah mengorbankan profesi dokter. “Kalo tidak mengerti, Jaksa MA harusnya bertanya. Dalam kasus ini, ahli hukum melakukan tindakan sepihak. Kami menolak kriminalisasi,” ujar dia.
Sampai berita ini diturunkan, tak ada jajaran MA yang bersedia memberikan keterangan. Sebelumnya, MA mengabulkan permohonan kasasi Kejaksaan Negeri Manado dan menyatakan dokter Ayu cs terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain.”
MA kemudian menjatuhkan pidana terhadap dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy Siagian, dengan hukuman penjara masing-masing 10 bulan.
Kronologi singkat
Baca Juga :
Dosen Kecantikan yang Viral di TikTok Ungkap Nama Asli, Ternyata Ini Alasannya Berani Anonim
Sebelum operasi dilakukan, kata MA, ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga Siska tentang berbagai kemungkinan terburuk, termasuk kematian. Dokter Ayu cs juga disebut melakukan pemeriksaan penunjang – pemeriksaan jantung dan foto rontgen dada – setelah dilakukan pembedahan. MA menyatakan, seharusnya prosedur itu dilakukan sebelum proses pembedahan.
Usai memeriksa jantung Siska, dokter Ayu kemudian melaporkan kepada konsultan jaga bagian kebidanan di RS tersebut, Najoan, bahwa nadi korban 180 kali per menit. Dokter Ayu juga mengatakan hasil pemeriksaan denyut jantung sangat cepat. Namun Najoan menyatakan bukan denyut jantung yang cepat, melainkan kelainan irama jantung atau fibrilasi.
Dokter lain yang menjadi saksi, dokter Hermanus, mengatakan tekanan darah Siska sebelum dibius agak tinggi, yakni 160/70. Dalam kondisi tersebut, pada prinsipnya pembedahan dapat dilakukan, namun dengan anestesi risiko tinggi.
Sementara berdasarkan hasil rekam medis yang dibacakan saksi Dokter Erwin Gidion Kristanto SH Sp F, saat Siska masuk RS, kondisinya lemah dan punya penyakit berat. Berdasarkan uraian para saksi itulah MA memutuskan dokter Ayu cs “lalai dalam menangani korban saat masih hidup dan ketika pelaksanaan operasi, sehingga korban mengalami emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung.”
Emboli udara itu menghambat darah masuk ke paru-paru hingga mengakibatkan kegagalan fungsi paru dan jantung. Akibatnya, Siska pun menunggal dunia sekitar 20 menit setelah melahirkan bayinya. (umi)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Sebelum operasi dilakukan, kata MA, ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga Siska tentang berbagai kemungkinan terburuk, termasuk kematian. Dokter Ayu cs juga disebut melakukan pemeriksaan penunjang – pemeriksaan jantung dan foto rontgen dada – setelah dilakukan pembedahan. MA menyatakan, seharusnya prosedur itu dilakukan sebelum proses pembedahan.