Yenny Wahid: RI Tak Lagi Cocok Jadi Contoh Toleran

Yenny Wahid
Sumber :
  • Antara/ Andika Wahyu


VIVAnews - Direktur The Wahid Institute, Zanubah Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, menilai bahwa Indonesia tak lagi cocok sebagai contoh toleransi antarumat beragama. Sebab, kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama mengalami kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut putri mendiang mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu, selama ini banyak pemimpin negara atau pun peneliti asing belajar tentang toleransi antarumat beragama di Indonesia. Pemerintah pun seolah 'menjual' keunggulan kompetitif itu kepada dunia.

"Tapi, apa yang sekarang kita lihat adalah berbanding terbalik. Makin banyak kejadian dan peristiwa intoleran, dan itu terjadi di depan rumah kita sendiri, dilakukan oleh saudara-saudara kita sendiri," ujar Yenny dalam pemaparan laporan hasil penelitian dan pemantauan The Wahid Institute terhadap kasus-kasus keagamaan di Tanah Air, di Jakarta, Jumat 28 Desember 2012.

Pada 2011, menurut Yenny, The Wahid Institute sudah memperingatkan pemerintah mengenai kerawanan situasi intoleransi antarumat beragama, yang disebutnya sudah sampai tahap 'lampu merah'. Ia berharap peringatan tersebut dapat menghentikan atau sedikitnya mengurangi tingkat pelanggaran kebebasan beragama. "Tapi sekarang. kenyataanya belum menggembirakan," imbuh Yenny.

Bahkan, lanjut Yenny, sudah muncul semacam aksi balasan oleh kelompok mayoritas di daerah lain, seperti di NTT (Nusa Tenggara Timur), yaitu ditolaknya pendirian masjid. "Kalau dibiarkan, ada tindakan saling balas atas alasan mayoritas di wilayahnya, akan ada tirani lokal. Ini berbahaya," kata mantan Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.

Penilaian serupa disampaikan Usman Hamid, Ketua Dewan Pengurus Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Situasi toleransi antarumat beragama di Indonesia tidak hanya mengalami kemandegan, tetapi justru pembalikan.

Hal tersebut dibuktikan dari temuan The Wahid Institute yang, menurut Usman, searah dengan hasil penelitian serupa oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), meski dengan basis berbeda. Temuan kedua lembaga itu, katanya, menunjukkan hasil yang sama: ada kecenderungan peningkatan pelanggaran kebebasan beragama atau pelanggaran HAM secara umum.

"Itu artinya bukan lagi stagnasi, tetapi malah regresi; pembalikan situasi penghormatan pada HAM," kata Usman.

Mengapa itu bisa terjadi? Menurut Usman karena Indonesia terlanjur bangga dengan sanjungan sebagai negara yang ramah, sehingga cenderung menjadi lupa diri saat melakukan kesalahan.

"Selama ini Indonesia dipuji-puji dunia, dipuji-puji negara lain dalam hal toleransi antarumat beragama, sehingga merasa tidak perlu memperbaiki. Karena itulah malah mengabaikan rekomendasi Dewan HAM, misalnya," tandas Usman.

Komisi X DPR Minta Wacana Kampus Kelola Tambang Dikaji Ulang, Ini Alasannya