"Konflik Lampung Sudah Ada Sejak Kolonial Belanda"
- ANTARA/Agus Setyawan
VIVAnews - Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rizal Panggabean, mengatakan konflik berdarah di Lampung Selatan harus diselesaikan dengan tuntas sampai ke akar masalahnya. Jika tidak, konflik itu akan terus terulang di masa mendatang.
"Konflik yang terdahulu belum selesai tuntas dan timbul konflik yang baru. Ini menunjukkan masih ada dendam diantara mereka sehingga dipicu dengan kejadian yang sangat kecil bisa berdampak sangat besar," kata Rizal di Yogyakarta, Kamis 1 November 2012.
Dalam menangani konflik Lampung Selatan ini, kata Rizal, aparat sangat terlambat mencegahnya. Sehingga, kerusuhan ini semakin besar dalam waktu yang terbilang cukup singkat. "Karena intervensi aparat keamanan gagal pada awal terjadinya kekerasan yang terjadi pada hari Minggu maka kekerasan itu berlanjut pada hari Seninnya," katanya.
Sementara itu, Kepala PSKP, Mohtar Mas’oed, mengatakan konflik di Lampung Selatan memiliki catatan panjang. Konflik itu telah ada sejak zaman kolonial Belanda. "Konflik Lampung tidak hanya masalah perbedaan suku, namun muncul karena akar persoalan yang lebih dalam," kata Mas'oed.
Perbedaan di Lampung, kata dia, bermula saat nation building Belanda dengan politik etisnya. Untuk membalas budi, Belanda menjadikan Lampung sebagai pusat perekonomian dengan membangun perkebunan dan mendatangkan transmigran dari Jawa dan daerah lainnya. Sejak itu pula irigasi dibangun, edukasi dijalankan. "Masuknya rel kereta api semakin memperkuaat penetrasi ekonomi," kata Mohtar.
Imbas penetrasi politik di Lampung itu melahirkan perubahan demografi antara warga asli dan pendatang. Perkembangannya, pendatang lebih rajin dan lebih maju ekonominya. "Pemilahan warga asli dan pendatang bertambah dengan pemilahan material pendatang yang lebih banyak uang," katanya.
Sementara itu, masuknya ajaran pemurnian Islam semakin menambah ancaman perbedaan. Pemilahan dalam masyarakat juga semakin terlihat misalnya dengan pembentukan persatuan anak transmigran Indonesia. "Bibit sudah ada, tinggal menunggu pemicu saja dan kapan pun konflik di Lampung bisa tersulut," katanya. "Ini merupakan kasus berulang dan jangan-jangan ini hanya riak dari suatu hal yang lebih besar." (umi)