Draft RKUHAP Bahas soal Penyadapan, KPK Tetap Ikuti UU KPK saat Ini
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Jakarta, VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tak mengikuti aturan yang tertulis dalam draf Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang mengatur penyadapan mulai dari adanya izin ketua pengadilan negeri, hingga batas waktu penyimpanan hasil penyadapan.
KPK masih akan mengikuti UU KPK. Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengatakan tak ada pengaruh apapun dalam hal penyadapan yang dilakukan KPK saat ini.
Dia mengatakan KPK menjalankan wewenangnya berdasarkan KUHAP. Namun, dikecualikan bila ada ketentuan lain di UU Nomor 19/2019 tentang KPK.
"KPK menjalankan kewenangan penyelidikan penyidikan dan penuntutan berdasarkan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang KPK," kata Fitroh Rohcahyanyo, Selasa 25 Maret 2025.
Fitroh menjelaskan jika ada aturan yang sama dalam KUHAP dan UU KPK, maka lembaga antirasuah akan tetap ikut pada UU KPK. Aturan di KUHAP bisa dikesampingkan karena UU KPK bersifat lex specialis atau lebih khusus. "Selama ini sih begitu (dikesampingkan aturan KUHAP). Lex spesialist," jelas Fitroh.
Gedung KPK (Foto Ilustrasi)
- KPK.go.id
Sementara, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan proses penyadapan di KPK sudah tertuang dalam UU KPK. Menurutnya, proses penyadapan dalam draft RUU KUHAP itu bersifat lebih umum.
"Penyadapan yang diatur dalam KUHAP lebih bersifat umum karena dapat dilakukan dalam perkara tindak pidana apa saja dan dapat dilakukan oleh penyidik Polri dan penyidik lain yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan," kata Tanak.
Proses penyadapan di lembaga antirasuah tetap mengikuti UU KPK. Tanak menyebut, lembaga antirasuah tidak mesti mengikuti aturan yang diatur dalam KUHAP.
"Dengan demikian berdasarkan asas "lex spesialis derogat legi generalis" KPK dapat saja melakukan penyadapan berdasarkan UU No. 19 Tahum 2019 tanpa perlu mengikuti ketentuan yang diatur dalam KUHAP," ujarnya.
Diketahui, dalam draft RUU KUHAP, aturan penyadapan tertuang dalam pasal 124 hingga 128. Dalam pasal 124 tertulis bahwa penyadapan harus atas seizin ketua pengadilan negeri.
Penyadapan tanpa izin ketua pengadilan negeri baru dapat dilakukan jika dalam keadaan mendesak. Berikut bunyinya:
(1) Penyidik, PPNS, dan/atau Penyidik Tertentu dapat melakukan Penyadapan untuk kepentingan Penyidikan.
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin ketua pengadilan negeri.
(3) Dalam keadaan mendesak, Penyadapan dapat dilaksanakan tanpa izin ketua pengadilan negeri.
Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. potensi terjadi bahaya maut atau ancaman luka berat;
b. telah terjadi permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau
c. telah terjadi permufakatan dalam tindak pidana terorganisasi
(5) Pelaksanaan Penyadapan yang dilakukan dalam keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib segera dimohonkan persetujuan ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 1 (satu) Hari terhitung sejak Penyadapan tanpa izin dilaksanakan.
(6) Dalam hal ketua pengadilan negeri menolak untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Penyadapan yang sedang dilakukan wajib dihentikan serta hasil Penyadapan tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti dan dimusnahkan.
Lebih lanjut, dalam pasal 125, dinyatakan penyadapan dapat dilakukan dalam jangka waktu maksimal 30 hari. Namun, waktu penyadapan itu dapat diperpanjang jika diajukan ke ketua pengadilan negeri.