BNPB dan Bappenas Dorong Pemberdayaan Perempuan dalam Mitigasi Bencana
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Indonesia adalah negara yang rawan bencana. Gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, dan letusan gunung berapi sering terjadi di berbagai daerah.
Hal ini disebabkan oleh letak geografis Indonesia yang berada di jalur pertemuan lempeng tektonik serta iklim tropis yang meningkatkan risiko bencana. Bahkan, World Risk Index (WRI) mencatat Indonesia sebagai salah satu negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia.
Bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Sedunia 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengadakan Lokakarya Nasional Akselerasi Pemberdayaan Perempuan dan Inklusivitas dalam Pengurangan Risiko Bencana.
BNPB dan Bappenas Dorong Pemberdayaan Perempuan dalam Mitigasi Bencana
- Istimewa
Lokakarya ini menyoroti pentingnya kesetaraan gender dan inklusivitas dalam manajemen bencana. Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Raditya Jati, mengatakan bahwa perempuan sering kali memiliki peran ganda saat bencana terjadi.
“Dalam keadaan bencana, peran dan beban perempuan justru bertambah. Perempuan bukan saja sebagai menjadi objek yang harus dilindungi, tetapi juga menjadi subjek yang berperan aktif sebagai agent of change. Oleh karena itu, perspektif gender harus diintegrasikan ke dalam semua kebijakan dan tindakan pengurangan bencana untuk mengurangi kerentanan perempuan dalam bencana. Sehingga laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam hal peningkatan kapasitas,” ungkap Raditya.
Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Bappenas, Maliki, menambahkan bahwa pendekatan berbasis gender sangat penting dalam pengurangan risiko bencana. Ia menjelaskan bahwa data menunjukkan perempuan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibanding laki-laki.
“Perempuan berperan penting dalam penanggulangan bencana, baik sebagai korban, pelaku, maupun pemimpin. Perempuan dapat berperan dalam berbagai fase bencana, mulai dari pra-bencana, saat bencana, hingga pasca-bencana. Begitu juga dengan kelompok penyandang disabilitas, mereka perlu mendapatkan hal yang sama dalam advokasi tentang kebencanaan,” kata Maliki.
“Perempuan dan penyandang disabilitas adalah kelompok rentan dan marjinal yang akan lebih terdampak perubahan iklim dan risiko bencana sebab mereka memiliki akses yang terbatas dan social exclusion yang mengurangi jaring pengaman,” sambungnya.
Lokakarya ini juga merupakan bagian dari kerja sama antara Indonesia dan Australia melalui program SIAP SIAGA. Simon Flores, perwakilan dari Kedutaan Besar Australia, menekankan bahwa semua orang memiliki peran dalam melindungi kelompok yang paling rentan.
"Kami mengapresiasi inisiatif ini yang menunjukkan komitmen nyata berbagai pihak dalam membangun ketahanan bencana yang inklusif dan berkelanjutan," ujar Simon.