MK Larang Caleg DPR-DPRD Terpilih Mundur Buat Ikut Pilkada
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Jakarta, VIVA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan terkait larangan pengunduran diri calon legislatif (caleg) terpilih demi maju Pilkada. MK menilai caleg terpilih boleh mundur jika memiliki alasan yang jelas dan tidak maju dalam pemilihan lain.
Gugatan itu teregistrasi dengan nomor perkara 176/PUU-XXII/2024. Sementara, gugatan itu diajukan oleh tiga mahasiswa, yakni Adam Imam Hamdana, Wianda Julita Maharani, dan Wianda Julita Maharani.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam pembacaan amar putusan di ruang sidang MK, Jumat, 21 Maret 2025.
Ilustrasi Pilkada
- vstory
MK menilai pengunduran diri caleg terpilih dapat dibenarkan sepanjang pengunduran diri dimaksud dilakukan untuk menjalankan tugas negara yang lain seperti diangkat atau ditunjuk untuk menduduki jabatan menteri, duta besar, atau pejabat negara/pejabat publik lainnya.
Artinya, jabatan-jabatan tersebut adalah jabatan yang bukan jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials), melainkan jabatan yang berdasarkan pengangkatan dan/atau penunjukan (appointed officials).
Dalam pertimbangan hukumnya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menekankan bahwa meskipun pengunduran diri merupakan hak calon terpilih, mandat rakyat yang diberikan melalui pemilu harus menjadi pertimbangan utama sebelum mengambil keputusan untuk mengundurkan diri.
“Ketika seorang calon terpilih berhasil meraih suara terbanyak, maka keterpilihannya merupakan mandat rakyat yang harus dihormati. Suara rakyat yang diberikan dalam pemilu merupakan perwujudan demokrasi dan tidak boleh diabaikan,” ujar Saldi Isra.
Menurut MK, pengunduran diri seorang calon legislatif terpilih dapat meniadakan suara pemilih yang telah memilihnya. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih dapat memilih berdasarkan figur calon yang diusung. Jika calon yang terpilih mengundurkan diri, suara rakyat menjadi tidak bermakna dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hakim konsitusi Arsul Sani mengatakan bahwa batasan dalam pengunduran diri calon terpilih diperlukan untuk menjaga prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilu. Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa pengunduran diri calon terpilih harus memiliki alasan yang jelas dan konstitusional.
Dua isu utama yang menjadi pertimbangan MK dalam putusan ini adalah pengunduran diri karena pencalonan sebagai kepala daerah dan pengunduran diri terkait kepentingan tugas negara.
MK juga menyatakan bahwa pengunduran diri untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Sebab, calon tersebut telah mendapatkan mandat dari rakyat melalui pemilu legislatif.
Di sisi lain, pengunduran diri dapat dibenarkan jika dilakukan untuk menjalankan tugas negara, seperti diangkat menjadi menteri, duta besar, atau pejabat negara lainnya yang bukan merupakan jabatan hasil pemilihan umum.
Dengan putusan ini, MK menyatakan bahwa Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa pengunduran diri hanya dapat dilakukan jika calon terpilih mendapat penugasan untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah terhadap I Pasal 426 ayat (1) huruf b UU 7/2017 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’, sebagaimana termuat dalam amar Putusan a quo,” jelas Arsul.