RUU Kejaksaan Dinilai Berbahaya Bagi Demokrasi dan Kebebasan Sipil
- Istimewa
Surabaya, VIVA – Revisi Undang-Undang (RUU) Kejaksaan mendapat penolakan keras dari pelbagai pihak, karena dinilai terlalu banyak penambahan kewenangan dan dapat membahayakan demokrasi Indonesia.
Guru Besar Ilmu HTN UIN Sunan Ampel Surabaya Titik Triwulan Tutik menegaskan penambahan kewenangan yang diatur dalam RUU Kejaksaan terlalu berlebihan. Ia bahkan menilai kewenangan itu menjadi terlalu powerfull hingga bertentangan dengan konstitusi atau UU.
"Perluasan kewenangan yang ada dalam RUU Kejaksaan terkesan sangat full power. Beberapa kewenangan jaksa bertentangan dengan Konstitusi dan banyak yang perlu untuk dikaji ulang," jelasnya dalam diskusi publik, Jumat 28 Februari 2025.
Ilustrasi jaksa.
- ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf
Di sisi lain, Titik juga turut menyoroti kurangnya penguatan pengawasan yang tercantum dalam RUU Kejaksaan. Sebab, kata dia, dengan penambahan kewenangan yang begitu besar harusnya diikuti dengan penguatan mekanisme pengawasan.
"RUU Kejaksaan harus mengatur mekanisme pengawasan yang kuat terhadap institusi Kejaksaan melalui Komisi Kejaksaan dan Komisi Etik ASN," ujarnya.
Sementara itu, mantan anggota Komisi Kejaksaan periode 2019-2023 Bhatara Ibnu Reza menyoroti penyusunan RUU Kejaksaan yang sangat tertutup karena dilakukan pada tahun 2021 ketika Pandemi Covid-19 sedang berlangsung.
"Perubahan pertama UU Kejaksaan di Tahun 2021 tidak terdengar dan ramai di publik karena warga sedang sibuk menghadapi Covid-19 dan mengawal berbagai aturan seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja," jelasnya.
Celah itulah yang kemudian menurutnya digunakan untuk menyusupkan pelbagai penambahan kewenangan dalam RUU Kejaksaan. Salah satunya yakni kewenangan intelijen Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan.
Padahal menurutnya hal itu sangatlah menyalahi hakikat intelijen yang seharusnya bekerja di ruang-ruang yang rahasia dan tidak boleh bersentuhan langsung dengan objek.
Selain itu, peran Dominus Litis atau pengendali perkara juga disalahartikan dengan ingin menjadikan Kejaksaan sebagai central authority. Kondisi ini, kata dia, menjadi berbahaya karena tidak akan ada lagi mekanisme check and balances yang efektif serta rentan diselewengkan.
"Sangat rentan dan berpotensi digunakan sewenang-wenang. Termasuk juga akan terjadi tumpang tindih dan perebutan kewenangan dengan lembaga negara lain," jelasnya.
Senada, Direktur Imparsial Ardi Manto menilai pembahasan RUU Kejaksaan yang dilakukan secara tertutup sangatlah berbahaya karena tidak transparan kepada publik.
Kondisi itu menurutnya juga diperparah dengan substansi RUU Kejaksaan yang dapat mengancam demokrasi, hukum, dan HAM karena adanya perluasan kewenangan.
Ia lantas menyoroti beberapa potensi terjadinya perluasan tugas dan kewenangan dalam Pasal 30A, 30C dan 30D yang berpotensi menimbulkan abuse of power.
"Pembahasan tertutup akan menghasilkan produk hukum yang ortodoks dan represif. Bahkan menguntungkan kekuasaan dan bukan menghasilkan UU yang berpihak pada rakyat," tuturnya.
Terakhir, Direktur Riset Centra Initiative Erwin Natosmal mencatat setidaknya ada 11 pokok permasalahan yang tertuang dalam RUU Kejaksaan. Beberapa yang menjadi sorotan yakni pergeseran domain kekuasaan Kejaksaan dari eksekutif ke kehakiman serta Hak imunitas Jaksa dan keluarganya.
Kemudian diskresi penggunaan senjata api yang dinilai tidak memiliki urgensi; rangkap jabatan di luar lembaga Kejaksaan; masuknya militer dalam konsepsi penegakan hukum; pemulihan aset tanpa check and balances.
Selanjutnya fungsi intelijen dalam perluasan wewenang Kejaksaan; diskresi perluasan fungsi yudikatif; hingga penambagan kewenangan penyadapan.
"Pelebaran diskresi dengan memunculkan kata 'dapat' dinilai tidak jelas, karena jika terlalu banyak diskresi tanpa kontrol akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang," pungkasnya.