Kebebasan Pers Masih di Bawah Bayang-bayang Ancaman Meskipun Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 Naik

Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA – Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 mencapai skor 60,5, yang masuk dalam kategori "Agak Terlindungi." Skor ini meningkat 0,7 poin dibanding tahun sebelumnya.

Bahas RUU Penyiaran, Anggota Fraksi Golkar DPR Cari Solusi yang Adaptif Inklusif

Meski ada peningkatan, banyak jurnalis tetap merasa cemas dengan masa depan kebebasan pers, terutama di tengah transisi pemerintahan baru.

Jurnalis Masih Khawatir Akan Kebebasan Pers

Sadis! Pasukan Israel Membunuh 24 Jurnalis Wanita Palestina Selama Perang di Gaza

Ilustrasi Jurnalisme yang dipengaruhi jagat digital.

Photo :
  • vstory

Menurut Dewan Pengawas Yayasan TIFA, Natalia Soebagjo, sebanyak 66% jurnalis kini lebih berhati-hati dalam membuat berita karena takut dikriminalisasi, disensor, atau mendapat tekanan dari berbagai pihak.

Anniversary Ke-3, Tim Sepakbola Jurnalis SeeJontor FC Gelar Kegiatan Sosial

“Bentuk kekerasan yang diperkirakan meningkat dalam lima tahun ke depan adalah pelarangan liputan sebesar 56% dan larangan pemberitaan sebesar 51%. Aktor utama yang dianggap mengancam adalah organisasi masyarakat sebesar 23% dan buzzer sebesar 17%,” ujar Natalia dalam peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 di Jakarta, Kamis 20 Februari 2025.

Laporan ini disusun oleh Yayasan TIFA bekerja sama dengan Populix, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dan Human Rights Working Group (HRWG) dalam Konsorsium Jurnalis Aman, dengan dukungan dari Kedutaan Besar Belanda.

Indeks ini mengukur tingkat perlindungan jurnalis di Indonesia berdasarkan tiga aspek utama yaitu individu jurnalis, stakeholder media, serta peran negara dan regulasi.

Ancaman Kekerasan bagi Jurnalis

Aksi Menentang Kekerasan Terhadap Jurnalis/Ilustrasi.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Siswowidodo

Hasil survei terhadap 760 jurnalis serta analisis data sekunder dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan bahwa jurnalis di Indonesia masih rentan terhadap kekerasan, baik fisik maupun digital. 

Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat, menambahkan bahwa pada tahun 2024 terdapat 167 jurnalis yang mengalami kekerasan dengan total 321 kasus.

Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah pelarangan liputan (56%) dan larangan pemberitaan (51%). Para pelaku kekerasan terhadap jurnalis terdiri dari organisasi masyarakat (23%), buzzer (17%), dan polisi (13%).

Selain itu, 39% jurnalis mengaku pernah mengalami sensor, baik dari redaksi maupun pemilik media. Bahkan, lebih dari setengah responden mengakui melakukan sensor mandiri (self-censorship) demi menghindari konflik dan kontroversi.

Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, juga menyoroti bahwa meskipun jumlah kasus kekerasan menurun, tingkat kekerasan justru semakin serius. Ia mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, ada jurnalis yang meninggal dunia, sesuatu yang tidak terjadi pada 2023 dan 2022.

“Jadi, meskipun indeks naik, kita tidak bisa hanya melihat angka tanpa memperhatikan kualitas kasus kekerasan yang terjadi,” ujarnya.

Bayu juga menambahkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya berbentuk fisik, tetapi juga intimidasi dan tekanan ekonomi. Banyak jurnalis akhirnya memilih melakukan sensor mandiri karena khawatir akan dampak yang lebih besar.

“Ada ancaman tidak langsung, seperti pembatasan kerja sama media dengan pemerintah atau swasta jika mereka menerbitkan berita sensitif. Karena itu, perlindungan terhadap jurnalis harus menjadi prioritas agar kebebasan pers tetap terjaga,” tegasnya.

Harapan terhadap Kebebasan Pers

Aksi menentang kekerasan terhadap jurnalis. (Foto ilustrasi).

Photo :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Menanggapi temuan ini, Natalia menekankan perlunya revisi regulasi yang membatasi kebebasan pers serta penguatan perlindungan hukum bagi jurnalis. 

“Khusus untuk pemerintah, perlu ada revisi regulasi yang membatasi kebebasan pers serta penguatan mekanisme perlindungan hukum bagi jurnalis. Perusahaan media juga harus meningkatkan standar keselamatan bagi jurnalis dengan SOP yang jelas, pelatihan keselamatan, dan dukungan hukum. Sementara itu, organisasi jurnalis dan CSO harus memperkuat advokasi serta edukasi bagi jurnalis dalam menghadapi ancaman,” jelas Natalia.

Nazmi menyoroti UU ITE dan KUHP sebagai ancaman utama terhadap kebebasan pers. Ia berharap terciptanya lingkungan kerja yang lebih aman bagi jurnalis.

“Dari sisi negara dan regulasi, UU ITE dan KUHP masih dianggap sebagai ancaman utama bagi kebebasan pers. Kami berharap temuan ini bisa menjadi acuan bagi pemerintah, organisasi media, dan masyarakat sipil untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi jurnalis,” ujar Nazmi.

Sementara itu, Noudhy Valdryno menegaskan komitmen negara dalam menjamin keselamatan jurnalis, baik dari segi keamanan fisik maupun kebebasan pers.

“Kami mendukung keselamatan para jurnalis, tidak hanya dalam hal keamanan fisik, tetapi juga dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kebebasan pers. Kebebasan pers yang sehat akan berdampak positif pada demokrasi dan stabilitas nasional,” jelas Noudhy.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya