Kata Guru Besar Hukum soal Putusan Banding Harvey Moeis yang Diperberat Jadi 20 Tahun

terpidana kasus korupsi timah, Harvey Moeis
Sumber :
  • VIVA.co.id/Andrew Tito

Jakarta, VIVA - Guru Besar Bidang Hukum Universitas Padjajaran serta perancang undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Romli Atmasasmita menyebut putusan banding terhadap Harvey Moeis dan Helena Lim yang lebih berat dari vonis sebelumnya sebagai miscarriage of justice atau putusan sesat.

Polda Kepri Geledah Kantor BP Batam Terkait Dugaan Korupsi

Hal tersebut mengingat sejumlah kejanggalan dalam pertimbangan hukum yang diambil oleh majelis hakim. Dia mengatakan, uang pengganti Rp420 miliar yang dibebankan kepada Harvey Moeis tak dilengkapi dengan bukti yang sah.

"Tidak terbukti suap dan tidak terbukti gratifikasi. Kerugian negara dalam putusan pengadilan bukan kerugian nyata (actual loss), namun hukuman Harvey Moeis justru diberatkan menjadi 20 tahun penjara dan uang pengganti sebesar Rp420 miliar. Ini tidak tepat," kata dia, Jumat, 14 Februari 2025.

Polisi Tetapkan Tersangka Korupsi Proyek Pabrik Gula Djatiroto, Ternyata Residivis

Direktur LPIKP Romli Atmasasmita.

Photo :
  • FOTO: VIVA.co.id/Mitra Angelia.

Kemudian, lanjut Romli, dakwaan pemufakatan jahat antara Harvey Moeis dan terdakwa lain pun dinilai tidak terbukti selama persidangan. Untuk itu, hukuman terhadap Harvey Moeis dinilai tak proporsional. Hukuman penjara yang awalnya 6,5 tahun naik jadi 20 tahun, sementara uang pengganti dari Rp210 miliar melonjak menjadi Rp420 miliar. 

Eks Dirut Pertamina Nicke Widyawati Dicecar KPK Terkait Holding Minyak dan Gas

“Dakwaan tindak pidana korupsi dalam kasus ini secara normatif berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 bukanlah tindak pidana korupsi. Pelanggaran terhadap UU Pertambangan tidak secara tegas diatur sebagai tindak pidana korupsi," katanya.

“Ini menunjukkan bahwa Harvey Moeis dianggap sebagai aktor intelektual, padahal fakta persidangan membuktikan sebaliknya," ujar Romli.

Dia menilai, Harvey Moeis sendiri bukanlah penyelenggara negara maupun direksi PT Timah. Ia cuma terlibat dalam kontrak sewa smelter dan kontrak kerja dengan penduduk sekitar tambang, yang notabene bukan penambang liar melainkan warisan turun-temurun. 

"Harvey Moeis dijerat pasal penyertaan (Pasal 55 KUHP), padahal ia tidak memiliki peran sebagai aktor intelektual," tutur Romli.

Sementara itu, Helena Lim yang perannya cuma sebagai pengusaha money changer dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada terdakwa sebesar Rp900 juta. Menurutnya, baik Harvey dan Helena disebut tak punya niat jahat.

"Helena dan Harvey Moeis sama sekali tidak memiliki mens rea (niat jahat) untuk menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp317 triliun. Kerugian tersebut hanya berdasarkan perkiraan BPKP yang bertentangan dengan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara," kata Romli.

Maka dari itu, Pakar Bidang Studi Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yoni Agus Setyono menambahkan, kasus ini seharusnya diselesaikan lewat jalur perdata, bukan pidana korupsi. Menurutnya, Undang-Undanf Lingkungan Hidup Tahun 2009 memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata terhadap subjek hukum lain, termasuk warga negara dan badan hukum.

"Kerugian negara dalam kasus ini masih diperdebatkan. Penyelesaian yang tepat adalah melalui gugatan perdata, bukan Tipikor," kata Yoni.

Yoni menjelaskan, kalau tujuannya untuk mengembalikan kerugian negara atas dampak lingkungan yang ditimbulkan dari tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah ini, jalur perdata lebih memungkinkan. Terlebih bila nilai kerugian negara masih belum jelas dan masih diperdebatkan.

 "Kalau kerugiannya belum jelas, mengapa dibawa ke pidana korupsi? Ini keliru. Jangankan (divonis) 20 tahun, hukuman 6,5 tahun (Harvey Moeis) pun tidak tepat," ujarnya.

Crazy Rich PIK Helena Lim jalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat soal kasus korupsi Timah

Photo :
  • VIVA.co.id/Zendy Pradana

Sehingga Yoni menyarankan agar upaya hukum lanjutan dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA). Selain itu, dia pun mengatakan, dengan jalur perdata benang kusut kasus ini bisa diurai hingga menemukan siapa seharusnya yang bertanggung jawab atas kerugian lingkungan yang timbul atas aktivitas pertambangan itu.

“MA masih bisa membatalkan putusan ini jika melihat secara utuh dari memori kasasi. Jika pelanggaran lingkungan hidup, maka harus dilihat berdasarkan UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya