Prevalensi Perokok Terus Naik, Diperkirakan Meningkat Jadi 37,5 Persen pada 2025

Ilustrasi jangan merokok
Sumber :
  • Pixabay

Jakarta, VIVA – Data organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) menunjukkan, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi rokok tertinggi kedua di dunia, dengan kematian akibat merokok diperkirakan berkisar 300.000 jiwa per tahun. 

WHO Respons Trump Putuskan AS Keluar Keanggotaan: Tolong Pertimbangkan Lagi!

Demikian dikemukakan Assoc. Prof. Ronny Lesmana, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, dalam sebuah acara di Jakarta, Jumat, 24 Januari 2025.

Dia mengatakan, angka prevalensi perokok Indonesia masih terus menunjukkan angka kenaikan. Proyeksi prevalensi perokok akan meningkat dari 31,7 persen pada tahun 2000 menjadi 37,5 persen pada 2025. 

AS Mundur dari Keanggotaan, WHO Ingatkan Ini

Menurut Ronny, intervensi kebijakan, salah satunya melalui konsep Tobacco Harm Reduction (THR) atau Pengurangan Risiko Tembakau menjadi alternatif untuk menekan angka kematian akibat rokok.

Ilustrasi dilarang merokok.

Photo :
  • Pixabay
Dokter Gedung Putih Kritik Keputusan Trump Keluarkan AS dari WHO

Konsep THR merupakan salah satu yang ditekankan dalam “Lives Saved Report”, laporan global yang melibatkan berbagai pakar kesehatan dari berbagai negara, termasuk dua pakar dari Indonesia. Laporan itu diterbitkan oleh Global Health Consults pada November 2024 lalu. 

“Konsep THR sudah diterapkan oleh 120-140 juta orang di seluruh dunia. Umumnya pengguna THR justru adalah penduduk negara-negara berpendapatan tinggi, seperti di Swedia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat. Pengguna THR di negara-negara ini sudah sadar akan dampak dan manfaat THR dalam membantu mereka berhenti merokok,” ujar Prof. Ronny yang menjadi salah satu penulis dalam “Lives Saved Report” tersebut.

Ronny menjelaskan, THR merupakan pendekatan yang bertujuan untuk mengurangi risiko kesehatan dan sosial yang berkaitan dengan kebiasaan atau penggunaan zat tertentu. Metode yang digunakan yakni dengan memberikan alternatif lebih baik sebagai pilihan pengguna dalam upaya pengurangan risiko (Harm Reduction).

“Di Indonesia sudah lebih dari 8 juta orang meninggal karena rokok, dan belum ada langkah-langkah signifikan untuk menghentikan laju angka tersebut. Kita perlu mengaktivasi orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan untuk lebih banyak bicara tentang THR,” ujarnya.

Ronny mengatakan, penerapan THR dapat menyelamatkan hingga 4,6 juta nyawa pada tahun 2060, dengan penurunan kematian hingga 123.000 per tahun. Namun, untuk mencapai target tersebut, Indonesia perlu mendorong pemanfaatan produk alternatif rendah risiko, serta peningkatan akses dan layanan pada pengobatan kanker paru-paru.

“Kita sebagai akademisi bicara dengan menggunakan data, yang kita hasilkan dari penelitian di laboratorium. Kita perlu paham dampak ekonomi dan dampak ikutan dari kondisi negara kita yang ada begitu banyak perokok. Gol kita semua adalah Indonesia yang lebih sehat," ujarnya.

Praktisi Kesehatan dan Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Marantha Prof. Dr. Wahyu Widowati mengatakan, Indonesia perlu langkah yang sangat serius yang melibatkan kerja sama berbagai pihak untuk mengurangi risiko rokok. Hal itu dikemukakan Wahyu menanggapi laporan yang dipaparkan tersebut.

Menurut Wahyu, pemerintah perlu membuka diri dan menyusun regulasi yang berlandaskan keilmuan sehingga persoalan perokok bisa teratasi dengan sebaik-baiknya.

“Berhenti merokok itu sangat sulit. Oleh karenanya, THR ini menjadi alternatif yang baik untuk mendorong konsep pengurangan bahaya. Kita fokus pada Indonesia saja ya, karena angkanya sendiri cukup tinggi tadi yang dipaparkan. Metode THR bukan hal tabu, tetapi justru harus terus didorong penelitian yang lebih banyak agar semakin menggambarkan manfaat yang bisa diambil,” ujarnya.

Prof Wahyu menggagas ada penelitian lebih lanjut terkait berapa banyak produk alternatif rendah risiko yang sudah ada di Indonesia, besaran pengguna, serta pengukuran dampak dari pengguna rokok yang sudah beralih ke produk lebih rendah risiko. Penelitian tersebut untuk mendapatkan data yang lebih presisi demi mendorong kebijakan pengendalian penggunaan rokok yang lebih baik lagi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya