Babak Baru Kasus Pemerasan DWP 2024, LBH Jakarta Sebut Kapolda Metro Jaya Harus Ikut Bertanggung Jawab

Ilustrasi DWP
Sumber :
  • VIVA.co.id/Zahrotustianah

VIVA – Setelah serangkaian proses sidang etik, publik kini menunggu tindakan tegas dan proses hukum menyeluruh terkait kasus pemerasan yang melibatkan 18 oknum polisi di Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.

Kapolri Ingin Kasus Firli Bahuri Segera Tuntas

Proses hukum menyeluruh ini termasuk pengusutan apakah ada keterlibatan atau kelalaian di level atasan Direktur Reserse Narkoba (Dirnarkoba) Polda Metro Jaya (PMJ) .

Apalagi, dalam Perpol No 14/ 2018 diatur tentang Tugas Pokok, Peran, Kewajiban,  Job Discription Kapolda sebagai penanggungjawab operasional kepolisian di kewilayahan Polda yang diatur dalam Peraturan Polri No 14/2018.

Terima Kedatangan Ketua KPK, Kapolri Jamin Kortas Tipidkor Tidak Tumpang Tindih

Terkait hal ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menegaskan jika Kapolda Metro Jaya sebagai atasan langsung Dirnarkoba patut bertanggung jawab atas tindakan bawahannya yang menggunakan modus razia narkoba ilegal untuk memeras penonton, termasuk warga negara Malaysia di ajang DWP 2024.

Tak hanya itu, LBH Jakarta juga menyoroti pentingnya menguji pertanggungjawaban etik, disiplin, maupun hukum terhadap Kapolda Metro Jaya. 

Propam Polri Gelar Sidang Etik 1 Polisi Terduga Pelaku Pemerasan Penonton DWP Hari Ini

“Apakah ada keterlibatan pada level kepemimpinan tertinggi di Polda Metro Jaya? Itu harus diuji melalui proses hukum yang adil,” ujar Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan kepada awak media di Jakarta, Selasa (7/1).

Menurut LBH, meski hingga kini proses pidana terhadap kasus ini belum terlihat, namun tanggung jawab minimal secara moral dan etik dari Kapolda harus tetap ada.

“Kapolda adalah atasan dari Dirnarkoba yang terlibat. Maka, pertanggungjawaban harus ditarik ke level kepemimpinan tertinggi,” ucapnya.

LBH Jakarta juga mengkritik kurangnya transparansi dalam penanganan kasus ini. Mereka menyebut, hingga kini belum ada komitmen nyata dari Polri untuk memproses para pelaku secara pidana. 

“Proses etik memang sudah berjalan, tapi kami belum melihat upaya serius membawa kasus ini ke ranah pidana. Transparansi sangat diperlukan untuk menjaga kepercayaan publik,” tegas  Fadhil.

LBH Jakarta menilai kasus ini tidak hanya mencoreng institusi Polri, tetapi juga berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Oleh karena itu, mereka mendesak adanya proses hukum menyeluruh, termasuk pengusutan apakah ada keterlibatan atau kelalaian di level Kapolda.

“Proses pidana harus memastikan apakah Kapolda juga terlibat atau tidak. Penegakan hukum yang menyeluruh adalah satu-satunya cara memulihkan integritas Polri dan menunjukkan bahwa tidak ada pihak yang kebal hukum,” imbuhnya. 

LBH Jakarta menilai bahwa kejadian ini  harus dipandang sebagai bagian dari permasalahan serius yang sudah berakar dalam tubuh Polri secara institusional dan pintu untuk mereformasi Polri secara total. 

"Kami khawatir proses ini hanya berujung dan terbatas pada proses etik semata. Pasalnya, sanksi etik tanpa proses pidana, atau bahkan tanpa sanksi sama sekali bagi polisi yang melakukan tindak pidana merupakan pola yang jamak untuk melanggengkan impunitas polisi," pungkas Fadhil.

Pamungkas, kasus pemerasan di DWP 2024 ini telah menimbulkan keresahan publik Indonesia dan internasional. Ileh karenanya, proses hukum transparan dan akuntabel kepada siapa saja yang terlibat menjadi harapan utama masyarakat agar keadilan benar-benar ditegakkan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya