Pemerintah Diminta Perhatikan Tunjangan Kinerja Dosen ASN
- Istimewa
Jakarta, VIVA - Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma menanggapi problematika yang dihadapi kalangan dosen di Indonesia. Diantaranya terkait tunjangan kinerja (tukin), beban administrasi hingga ketentuan jam kerja dosen. Menurut dia, tukin dosen ASN sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas dosen.
Maka dari itu, Filep meminta dalam penyusunan Peraturan Presiden atau Perpres harus melakukan harmonisasi regulasi, penguatan anggaran dan revisi kebijakan merupakan solusi konkret. Sebab, kata dia, ketidaksesuaian dan keterbatasan anggaran menjadi hambatan utama dalam realisasi kebijakan tersebut.
“Pada permasalahan ini, penyusunan Peraturan Presiden, harmonisasi regulasi, penguatan anggaran, dan revisi kebijakan merupakan solusi konkret yang harus segera dilakukan. Karena realisasi tunjangan kinerja akan linier dengan upaya menciptakan ekosistem pendidikan tinggi yang lebih sehat, produktif, dan berintegritas,” kata Filep dikutip pada Rabu, 8 Januari 2025.
Kata dia, dosen yang bestatus sebagai ASN di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) sampai saat ini belum sepenuhnya menerima tunjangan kinerja. Sedangkan, lanjut dia, ASN di lingkungan kementerian lain sudah menerima tunjangan sesuai peraturan yang berlaku.
“Dosen berstatus ASN sempat dijanjikan mendapatkan tunjangan kinerja mulai 2025. Namun, realisasi kebijakan ini menghadapi kendala anggaran karena Kementerian Keuangan tidak mengakui tunjangan kinerja untuk dosen, di antaranya soal perubahan nomenklatur. Tunjangan ini hanya diakui untuk pegawai kementerian,” jelas dia.
Sementara, lanjut Filep, Menteri Diksaintek menyebut bahwa draft Peraturan Presiden mengenai tunjangan kinerja dosen sedang disiapkan sebagai bagian dari program 100 hari Kementerian Diktisaintek. Di sisi lain, tuntutan pembayaran tunjangan kinerja ini juga mencuat dari sejumlah kelompok pada awal tahun 2025.
“Mendikti Saintek menyebut, draft Perpres mengenai tunjangan kinerja dosen sedang disiapkan sebagai bagian dari program 100 hari Kemendiktisaintek. Kritik soal ketidakpastian kebijakan ini mendesak pemerintah segera merealisasikan pembayaran tukin yang tertunda sejak 2020,” ujar Legislator asal Papua ini.
Menurut dia, kondisi ini menyebabkan banyak dosen ASN bergantung pada honor tambahan dari tugas dinas seperti seminar atau workshop. Tentunya, ia khawatir dengan keterlambatan pembayaran tunjangan kinerja ini berdampak pada kesejahteraan dosen, sehingga berisiko terhadap kualitas ekosistem pendidikan tinggi.
Makanya, Filep menekankan supaya penerbitan Peraturan Presiden itu harus mencakup mekanisme pemberian tunjangan kinerja sesuai karakteristik profesi dosen. Kemudian, perlu harmonisasi regulasi antara Kemdikbudristek dengan Kementerian Keuangan agar anggaran dapat dialokasikan secara efektif. Serta, evaluasi terhadap kemampuan anggaran juga harus transparan.
“Penyusunan skema pembayaran tunjangan kinerja dapat dimulai dengan pemberian secara bertahap berdasarkan prioritas tertentu. Misalnya, berdasarkan jabatan fungsional atau beban kerja. Langkah ini dapat mengurangi beban keuangan negara, sekaligus memberikan manfaat langsung kepada dosen ASN yang membutuhkan,” imbuhnya.
Selain itu, Filep mengatakan penguatan alokasi anggaran di tingkat legislatif juga perlu yakni Badan Anggaran (Banggar) DPR RI. Menurut dia, dukungan legislatif dapat mempercepat proses pengesahan anggaran supaya tunjangan kinerja dapat direalisasi sesuai target.
“Ini dapat didukung dengan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan. Langkah lain yang perlu diambil adalah revisi Permendikbud Ristek 44/2024. Revisi ini dapat memuat ketentuan yang lebih jelas soal hak dosen ASN atas tukin, diiringi dengan kebijakan pengelolaan perguruan tinggi yang otonom dan akuntabel,” ungkapnya.
Di samping itu, Filep menyoroti jam kerja dosen yang diharuskan oleh kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) yakni dosen bekerja di kantor dari jam 08.00 hingga pukul 16.00. Padahal, kata dia, tugas dosen yang bersifat multidimensional ini mencakup pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, serta kegiatan administratif sehingga memerluka jam kerja yang fleksibel dan sesuai kebutuhan akademik.
Untuk itu, Filep mengungkapkan solusi untuk mengatasi persoalan tersebut tentunya perlu pendekatan yang holistik. Kata dia, kebijakan pengelolaan jam kerja dosen menjadi langkah penting untuk menciptakan sistem yang adaptif terhadap kebutuhan akademik. Penghitungan jam kerja perlu dirancang berdasarkan output dan capaian kerja, bukan hanya kehadiran fisik di kantor.
Misalnya, lanjut Filep, mekanisme pelaporan kinerja berbasis digital dapat digunakan untuk memantau aktivitas dosen secara transparan dan efisien. Maka dari itu, ia mengatakan Pemerintah perlu memahami karakteristik profesi dosen lebih dalam dan merancang kebijakan yang mendukung produktivitas tanpa mengorbankan fleksibilitas.
“Perguruan tinggi perlu mengembangkan sistem manajemen waktu kerja yang adaptif dan berorientasi pada hasil kerja. Dosen juga perlu meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab profesinya dan memanfaatkan fleksibilitas waktu kerja untuk meningkatkan kontribusi terhadap institusi dan masyarakat,” pungkasnya.