MK Hapus Presidential Threshold, LaNyalla Harap Jadi Momentum Perubahan Fundamental
- Biro Pers, Media dan Informasi LaNyalla
Jakarta, VIVA – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, LaNyalla Mahmud Mattalitti menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan menghapus ambang batas minimal persentase pengusulan pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold).
"Perubahan pandangan hakim MK tentu harus diapresiasi, terutama setelah 33 kali menolak gugatan perkara yang sama, termasuk gugatan yang diajukan DPD RI, atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ujar LaNyalla Mattalitti dalam keterangannya, Sabtu, 4 Januari 2025.
LaNyalla menambahkan, “Terutama dalam putusan terbaru ini, majelis mendalilkan yang pada intinya demi menghindari kemunduran demokrasi, karena dominasi partai politik yang berkelompok, sehingga membatasi peluang warga negara untuk maju mencalonkan diri sebagai pemimpin nasional.”
Dia menjelaskan, keputusan MK tentang presidential threshold itu, menjadi sebuah momentum untuk menata ulang sistem demokrasi Indonesia yang sesuai dengan Pancasila, yang mengedepankan demokrasi perwakilan dan musyawarah mufakat, untuk menghindari biaya politik yang mahal dan jebakan popularitas dan elektabilitas yang bisa difabrikasi.
Menurut dia, sudah seharusnya bangsa ini kembali ke sistem Pancasila, untuk menghasilkan perwakilan yang diisi para hikmat, untuk kemudian memilih putra-putri terbaik bangsa untuk menjadi pemimpin nasional.
“Menurut saya ini momentum, karena putusan MK tersebut harus diikuti dengan perubahan UU, terutama tentang Pemilu dan sistem tata negara, maka bisa menjadi pintu masuk untuk kita kembali ke konstitusi asli, yaitu demokrasi Pancasila, sistem asli Indonesia, yang belum pernah secara tepat diterapkan di Orde Lama, maupun Orde Baru. Banyak calon presiden, tidak masalah, tetapi yang memilih adalah para hikmat yang berada di MPR sebagai lembaga tertinggi, yang tidak hanya dihuni anggota DPR dari representasi partai saja,” katanya.
LaNyalla mengatakan, pemilihan presiden langsung oleh semua rakyat, hanya akan menghasilkan biaya tinggi, yang akhirnya melibatkan bandar pembiaya, dan batu ujinya hanya popularitas dan elektabilitas yang bisa di-framing karena suara seorang guru besar atau profesor dihitung sama dengan suara mahasiswa semester satu.
Dia melanjutkan, berbeda bila evaluasi UU dan sistem tata negara dilakukan menyeluruh, sehingga bangsa ini mampu menghasilkan para hikmat sebagai penjelmaan rakyat di MPR untuk memilih maka tentu batu ujinya terhadap calon di MPR menjadi integritas, intelektualitas dan moralitas.
“Saya berharap Presiden Prabowo yang memiliki semangat dan cita-cita untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945 mendorong semua elemen bangsa agar menggunakan momentum putusan MK ini untuk kita lakukan perbaikan sistem pemilu dan sistem tata negara Indonesia untuk kembali ke rumusan para pendiri bangsa,” ujarnya
“Yang artinya bukan terjebak kembali dengan Orde Lama dan Orde Baru. Tetapi benar-benar kita terapkan pikiran pendiri bangsa, melalui sistem tersendiri yang sesuai dengan watak asli bangsa Nusantara ini, karena bagi saya, setelah MK sadar, kita semua harus sadar juga,” kata LaNyalla menambahkan.
Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Hal tersebut disampaikan Ketua MK, Suhartoyo dalam pembacaan putusan MK atas perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 2 Januari 2024.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Suhartoyo.
MK juga menyatakan norma Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," katanya.