Cerita Mahasiswa UIN Yogyakarta Menangkan Gugatan Presidential Threshold 20 Persen Dihapus MK
- VIVA.co.id/Cahyo Edi (Yogyakarta)
Yogyakarta, VIVA -Â Empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Negeri Islam (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yakni Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, Rizki Maulana Syafei dan Tsalis Khoirul Fatna, menggugat sistem Presidential Threshold atau ambang batas pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam gugatannya ini, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memenangkannya. Keputusan MK ini dibacakan pada Kamis, 2 Januari 2025.
Salah satu mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang menggugat yakni Enika Maya Oktavia mengatakan, permohonan uji materi tentang Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukannya murni bersama rekan-rekannya. Enika menyebut tidak ada intervensi dari pihak manapun terkait gugatan yang diajukan mereka ke MK ini.
"Kami tidak mendapatkan intervensi dari organisasi, institusi maupun partai politik lainnya. Yang kami lakukan merupakan murni perjuangan akademis dan perjuangan advokasi konstitusional," kata Enika di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada Jumat 3 Januari 2025.
Enika menyebut, bahwa gugatan uji materi ke MK ini merupakan proses panjang yang dilakukannya bersama teman-temannya. Sebelum mengajukan gugatan itu, Enika dan rekan-rekannya ini bergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi.
Komunitas itu merupakan organisasi resmi yang ada di UIN Sunan Kalijaga. Pada tahun 2023, Enika dan rekan-rekannya sempat mengikuti debat antar perguruan tinggi yang digelar oleh Bawaslu RI. Dalam debat itu salah satunya mengenai sistem Presidential Threshold.
Dari debat inilah, ungkap Erika, bahan-bahan materi dan kajian soal Presidential Threshold dikumpulkan. Berbekal materi ini dan adanya putusan MK 90, Erika dan tim kemudian menyiapkan materi gugatan ke MK.
"Gugatan diajukan pada Februari 2024. Prosesnya hampir setahun sebelum akhirnya diputus oleh MK. Selama proses ini sekitar 7 kali sidang yang kami jalani," urai Erika.
Enika dan rekannya dalam argumennya menilai masyarakat sebagai pemilih lebih sering ditempatkan sebagai objek dalam pelaksanaan demokrasi. Padahal, semestinya masyarakat yang menjadi subjek dari pelaksanaan demokrasi itu.
"Kami coba mengajukan dan berargumentasi. Kami ini adalah subjek demokrasi dan bukan objek demokrasi. Sehingga, legal standing kami diterima," urai Enika.
Enika menambahkan sengaja mengajukan gugatan ke MK pasca Pilpres 2024, untuk menghindari adanya tekanan politik dalam prosesnya.Â
"Semakin dekat dengan Pilpres, maka tekanan-tekanan politik akan semakin luar biasa. Kami ingin kajian-kajian yang dilakukan MK tidak mendapatkan preseden atau pengaruh buruk secara politik. Kajiannya benar-benar kajian akademis. Benar-benar kajian substansi hukum dan ini terbukti," tutup Erika.