MK Tolak Gugatan Hapus Kolom Beragama di Kartu Keluarga-KTP

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo
Sumber :
  • MK

Jakarta, VIVA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang meminta agar kolom agama dihapus dari pencatatan kependudukan yang diatur dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. 

Denny JA Nilai Pusat Studi Agama dan Spiritualitas Era AI Perlu Dibentuk, Ini Alasannya

Adapun gugatan tersebut dilayangkan oleh Raymond Kamil dan Indra Syahputra. Keduanya mempersoalkan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk terkait biodata penduduk yang memuat keterangan agama dalam Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP). 

"Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan putusan di ruang sidang MK, Jumat, 3 Januari 2025.

Hak Parpol Ganti Anggota DPR Digugat ke MK, Pemohon Ingin PAW Ditentukan Melalui Pemilu Dapil

Ilustrasi pasangan beda agama.

Photo :
  • http://www.evogood.com/

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan pembatasan kebebasan bagi warga negara Indonesia, di mana setiap warga negara harus menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan keniscayaan sebagaimana diharapkan oleh Pancasila dan diamanatkan oleh Konstitusi.

Soal Lokataru Gugat Presiden RI ke PTUN, Pakar: Alasan Hukumnya Lemah

"Pembatasan yang demikian merupakan pembatasan yang proporsional dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Menurut Mahkamah, konstitusi negara membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama atau bangsa yang memiliki kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk mewujudkan karakter bangsa yang seperti itu, terdapat norma dalam UU Adminduk yang mewajibkan bagi setiap warga negara untuk menyebutkan atau mendaftarkan diri sebagai pemeluk agama atau penganut kepercayaan.

Ia menambahkan bahwa, setiap warga negara hanya diwajibkan menyebutkan agama dan kepercayaannya untuk dicatat dan dibubuhkan dalam data kependudukan, tanpa adanya kewajiban hukum lain.

“Tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dinilai sebagai kebebasan beragama atau kebebasan menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” tutur Hakim Arief.

Sebagai informasi, Dua warga Jakarta, Raymond Kamil dan Indra Syahputra mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) terkait biodata penduduk yang memuat keterangan agama dalam Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP). 

Para Pemohon ingin kolom agama tersebut dapat diisi dengan “tidak beragama”. "Pada kenyataannya tidak memeluk salah satu dari tujuh pilihan dan yang tidak beragama dipaksa keadaan untuk berbohong atau tidak dilayani,” kata kuasa hukum pemohon, Teguh Sugiharto, dikutip dari situs MK RI, Rabu, 23 Oktober 2024.

Para pemohon mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan manapun termasuk yang agama dan kepercayaan yang telah diakui negara Indonesia. Para Pemohon menyatakan telah mengalami kerugian hak konstitusional karena harus mengisi kolom agama tersebut dengan memilih agama atau kepercayaan, padahal dia ingin di-input tidak beragama.

Para pemohon menyebutkan telah mengalami diskriminasi karena petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menolak agar kolom agama dalam KK maupun KTP dituliskan “tidak beragama”. Menurut para pemohon, ketentuan yang diuji mewajibkannya untuk memeluk agama atau kepercayaan tertentu. 

Ketua MK Suhartoyo (tengah), bersama hakim Arief Hidayat dan Saldi Isra di sidang perselisihan hasil Pileg 2024.

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Para pemohon mengatakan isian kolom agama tidak bersifat isian terbuka melainkan pilihan tertutup yang memaksa.

Selain itu, Raymond mengaku mendapat penolakan untuk tidak mengikuti pendidikan agama dari petugas dinas pendidikan. Ia juga berkeinginan untuk menikah kembali, tetapi dirinya tidak mungkin memenuhi hak konstitusional dimaksud kecuali melakukan kebohongan mengaku sebagai penganut agama tertentu yang diakui.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pasal-pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai secara positif dan negatif, yaitu setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan bebas untuk tidak memeluk agama dan kepercayaan serta kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya