MK Nilai Presidential Treshold 20% Langgar Moralitas dan Rasionalitas
- ANTARA Foto/Hafidz Mubarak
Jakarta, VIVA - Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi mengabulkan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dengan dihapusnya ambang batas pencalonan presiden 20 persen itu membuka peluang setiap partai politik untuk dapat mengusung sendiri pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada Pilpres 2029.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 222 UU Nomor 7/2017 mengatur terkait persyaratan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
"Dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya," kata Saldi Isra di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
Pasalnya, setelah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyangkut syarat pencalonan presiden dan wakil presiden diuji sebanyak 27 kali oleh MK, akhirnya MK mengabulkan dan menetapkan bahwa ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan UUD 1945.
"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun
1945," kata Saldi Isra.
"Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah beralasan menurut hukum," sambungnya.
Selain itu, MK juga menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden juga hanya mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon. Menurut Saldi, dua pasangan calon itu sangat nyata terjadinya polarisasi di tengah-tengah masyarakat.
"Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal," ujar Saldi.
Dihapusnya ambang batas pencalonan presiden ini membuka peluang bagi setiap partai politik untuk dapat mengusung sendiri pasangan capres-cawapres. Sehingga tidak lagi terpaku pada syarat minimal 20 persen kursi DPR RI.
"Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu," ungkap Saldi.
"Sekalipun dalam putusan a quo, Mahkamah telah menegaskan dalam pertimbangan hukum di atas bahwa pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional (constitutional right) semua partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, dalam revisi UU 7/2017," imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK), memutuskan menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Hal tersebut disampaikan Ketua MK, Suhartoyo dalam pembacaan putusan MK atas perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 2 Januari 2024.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Suhartoyo.
MK juga menyatakan norma Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," katanya.