Pakar Hukum sebut Publikasi OCCRP Fitnah yang Merusak Nama Baik Orang
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Praktisi Hukum, Albert Aries menanggapi publikasi dari Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang menominasikan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) sebagai finalis tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi 2024. Menurut dia, publikasi itu dapat dikualifikasikan sebagai fitnah sekaligus penghinaan terhadap kedaulatan bangsa Indonesia.
“Tuduhan korupsi tanpa dasar hukum dan tidak disertai bukti permulaan yang cukup, atau ‘Trial by NGO’ oleh OCCRP, jelas bukan hanya ditujukan terhadap Jokowi, melainkan juga Pemerintahan Indonesia,” kata Albert dikutip pada Rabu, 1 Januari 2025.
Albert mengakui selama 10 tahun Pemerintahan Jokowi, pasti penuh kekurangan. Akan tetapi, kata dia, bagaimana pun juga banyak hal baik yang diwariskan Jokowi. Herannya, lanjut Albert, OCCRP ini mengambil peran konstitusional DPR sebagai fungsi pengawasan terhadap Presiden ke-7 RI, Jokowi.
“Seolah-olah OCCRP mengambil peran konstitusional DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan (supervisi) terhadap Presiden ke-7 RI, sama sekali tidak pernah diusulkan DPR, apalagi sampai terbukti melakukan pelanggaran hukum berdasarkan Pasal 7 A UUD 1945,” jelas dia.
Menurut dia, LSM Asing sebagai bagian dari demokrasi untuk tetap menghormati kedaulatan Indonesia dan agar kembali pada asas hukum internasional, yaitu ‘omnis indemnatus pro innoxio legibus habetur’.
“Setiap orang yang belum pernah terbukti bersalah oleh peradilan yang adil, haruslah dianggap tidak bersalah secara hukum,” tegas dia.
Oleh karena itu, Albert menekankan bahwa memasukkan Presiden ke-7 RI, Jokowi dalam nominasi sebagai tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi tahun 2024 tanpa adanya bukti permulaan yang cukup adalah kejahatan fitnah yang merusak nama baik orang lain.
“Menominasikan Presiden ke-7 RI sebagai tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi 2024 tanpa bukti permulaan yang cukup, adalah kejahatan fitnah yang merusak nama baik orang lain. Sehingga, publikasi OCCRP itu jelas bertentangan dengan Pasal 19 Ayat (3) Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005,” pungkasnya.