Kilas Balik 20 Tahun Tsunami Aceh
- VIVA.co.id/Dani Randi (Banda Aceh)
Banda Aceh, VIVA – Hari ini, Kamis 26 Desember 2024 tepat 20 tahun Aceh mengenang gempa dan tsunami besar yang meluluhlantakkan pesisir tanah rencong.
Akibat bencana dahsyat tersebut 500.000 orang kehilangan tempat tinggal dan lebih dari 230.000 nyawa hilang, sebagaimana dilaporkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 4 Januari 2005.
Awalnya tidak ada yang mengira gempa yang disusul tsunami tersebut menerjang Aceh. Sebagaimana biasanya sehari setelah perayaan natal, Minggu pagi, 26 Desember 2004 warga beraktifitas berlibur, olahraga hingga berkumpul bersama keluarga.
Keceriaan Berubah Duka
Kecerian itu seketika hilang pada pukul 07:59 WIB. Gempa berkekuatan 9,2Â skala richter mengguncang Aceh. Kekuatan gempa itu disebut sebagai yang terbesar di Abad ke 21.
Sebagian bangunan yang berdiri di atas tanah rubuh seketika. Warga panik berhamburan keluar rumah.Â
Tak berselang lama, air laut turun drastis. Masyarakat yang tak begitu paham bencana tak mengerti apa yang terjadi. Apalagi tak ada upaya mitigasi dari pemerintah.Â
Kemudian air laut yang tadinya surut, langsung muncul gelombang air diperkirakan setinggi pohon kelapa menerjang pesisir Aceh, menenggelamkan apa yang dilintasi. Warga pesisir tak sempat menyelamatkan diri.
Ketika air sudah menyapu semua daratan, terlihat jenazah bergelimpangan di jalanan hingga di balik reruntuhan bangunan, kendaraan hingga pepohonan yang tumbang.
Air Mata Aceh
Mata dunia tertuju pada Aceh. Seluruh dunia menyampaikan duka. 56 negara langsung bergegas mengirimkan bantuan.
Paling cepat mengirimkan bantuan adalah pasukan militer Amerika Serikat lewat kapal induk USS Abraham Lincoln, kebetulan tidak jauh dari wilayah Aceh saat bencana terjadi, sehingga bisa merespons dengan sangat cepat.
"Saya ada di Aceh saat itu dan melihat langsung bagaimana militer Amerika memberikan bantuan dan mengevakuasi korban bencana. Bantuan mereka datang pada saat yang sangat krusial," kata Pj Gubernur Aceh, Safrizal beberapa waktu lalu.
Kepanikan soal 'harus berbuat apa' dari Pemerintah Indonesia juga terjadi, apalagi saat itu tidak ada regulasi yang mengatur soal kebencanaan. Ditambah saat itu Aceh juga dilanda konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan RI.
Mau tidak mau pemulihan pasca-tsunami Aceh harus dilakukan mengingat sebagian warga kehilangan segalanya. Pembangunan infrastruktur juga harus dibangun kembali dari nol.
Cikal Bakal UU Bencana dan BNPB
Kejadian Tsunami Aceh pada akhirnya memantik kesadaran kebencanaan pemerintah dan masyarakat. Mereka menjadi sadar kalau Indonesia negara rawan bencana. Hal mitigasi pun dipelajari.Â
Kemudian pemerintah membuat UU Bencana pada 2005 dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Khusus Aceh namanya Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA).
Setahun berikutnya, GAM dan RI mengakhiri konflik bersenjata tepatnya 15 Agustus 2006 yang melahirkan beberapa kesepakatan diantaranya adanya UU Pemerintah Aceh dan MoU Helsinki.
Pasca perdamaian tersebut pembangunan pemulihan pasca bencana dikebut. Pembangunan infrastruktur di mana-mana.Â
Penguatan mitigasi bencana mulai menyasar ke lembaga pendidikan. Apalagi itu diperkuat sejumlah bukti atau sisa-sisa keganasan tsunami yang masih berdiri kokoh hingga saat ini seperti PLTD Apung, kapal di atas rumah, masjid Rahmatullah hingga museum tsunami Aceh yang jadi tempat literasi kebencanaan.
Kini, setiap tahun Pemerintah Aceh selalu memperingati bencana gempa dan tsunami hingga menetapkan tanggal 26 Desember sebagai hari libur bagi warga Aceh.