Respons Kejagung soal Denda Damai untuk Koruptor
- VIVA.co.id/Foe Peace Simbolon
Jakarta, VIVA – Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menanggapi dingin usulan pemerintah untuk menerapkan mekanisme denda damai bagi pelaku tindak pidana korupsi (koruptor).
Menurut Kejagung, mekanisme tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar mengatakan, mekanisme denda damai sejatinya telah diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan).
Namun, penerapannya hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi tertentu, seperti pelanggaran bidang kepabeanan dan bea cukai.
“Penyelesaian secara denda damai yang dimaksud dalam pasal ini adalah untuk UU sektoral,” kata Harli ditanyai media, Rabu, 25 Desember 2024.
Harli menegaskan, mekanisme denda damai belum diatur dalam UU Pemberantasan Korupsi, baik dalam Pasal 1, 2, maupun 3. “Kecuali ada definisi yang memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi,” kata Harli.
Harli juga mengatakan, jika pemerintah ingin menerapkan mekanisme denda damai bagi koruptor, maka perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Revisi terkait Pasal 35 ayat (1) huruf k, dengan memasukkan tindak pidana korupsi sebagai bagian dari tindak pidana ekonomi.
Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengusulkan pemberian pengampunan kepada pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, melalui mekanisme denda damai.
Andi menjelaskan, usulan denda damai bagi koruptor adalah salah satu bentuk kebijakan pengampunan yang diajukan Presiden Prabowo Subianto.