Arti dan Sejarah Devide et Impera, Istilah yang Disebut Prabowo di KTT D-8
- Setpres
Jakarta, VIVA – Presiden RI, Prabowo Subianto, mengangkat isu lemahnya persatuan negara-negara Muslim dalam sejumlah agenda perdamaian dan kemanusiaan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) D-8 yang baru saja digelar.
Prabowo menyoroti bahwa meskipun banyak negara Muslim menunjukkan solidaritas melalui dukungan dan bantuan kemanusiaan, langkah konkret untuk menyelesaikan konflik besar seperti di Gaza dan Suriah masih minim.
Dalam pidatonya, Prabowo mengkritik penerapan strategi devide et impera sebagai salah satu penyebab utama melemahnya solidaritas antarnegara Muslim. Ia menyebutkan bahwa konflik internal di beberapa negara Muslim merupakan contoh nyata dampak dari strategi ini.
“Kapan ini akan berakhir? Bagaimana kita bisa membantu Palestina kalau kita saling bermusuhan antar sesama? Mari kita jujur kepada rakyat kita,” tegasnya.
Arti dan Sejarah Devide et Impera
Istilah devide et impera berasal dari bahasa Latin yang berarti "pecah belah dan kuasai". Strategi ini merupakan kombinasi taktik politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah dikendalikan.
Dalam konteks lain, strategi ini juga digunakan untuk mencegah kelompok kecil bersatu menjadi kekuatan besar yang berpotensi menantang penguasa.
Awalnya, devide et impera dikenal sebagai strategi perang yang digunakan oleh bangsa-bangsa kolonialis seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, dan Prancis sejak abad ke-15. Mereka memanfaatkan strategi ini untuk memperluas kekuasaan dan menguasai sumber daya alam di wilayah-wilayah tropis.
Seiring waktu, devide et impera berkembang menjadi strategi politik kekuasaan yang tidak hanya diterapkan dalam perang, tetapi juga dalam pengelolaan pemerintahan dan kontrol masyarakat.
Devide et Impera di Indonesia
Di Indonesia, strategi pecah belah diterapkan oleh penjajah kolonial Belanda untuk memperkuat kendali atas wilayah Nusantara yang sekarang menjadi Indonesia.
Belanda sering mengadu domba antar kerajaan atau memanfaatkan perselisihan internal dalam kerajaan untuk melemahkan potensi perlawanan terhadap kolonialisme. Contoh nyata adalah konflik antara raja dan para pangeran yang tidak puas di beberapa kerajaan Nusantara.
Prabowo mengingatkan bahwa strategi ini masih relevan untuk direnungkan di masa kini. Ia mengajak negara-negara Muslim untuk introspeksi dan mengutamakan persatuan agar mampu menghadapi tantangan global, terutama dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina dan penyelesaian konflik lainnya.
Persatuan, menurut Prabowo, adalah kunci utama bagi negara-negara Muslim untuk mencapai perdamaian dan keadilan. "Kita harus bersatu, bukan hanya dalam ucapan, tetapi juga dalam tindakan nyata," pungkasnya.