Dinilai Tak Pantas Jadi Dokter, Alumni Unsri Desak Lady Aurellia Dikeluarkan Kampus usai Insiden Pemukulan
- Istimewa
Palembang, VIVA – Kasus pemukulan terhadap seorang dokter muda yang sedang menjalani koas di Palembang, Sumatera Selatan, menjadi sorotan publik setelah video kekerasan tersebut viral di media sosial.
Dalam rekaman yang beredar, seorang pria, sopir dari Lady Aurellia Pramesti mengenakan kaos merah terlihat memukuli dokter muda yang masih mengenakan seragam rumah sakit di sebuah kafe.
Meskipun dokter muda itu berusaha berbicara dengan tenang, pria tersebut terus melancarkan pukulan. “Kami sudah (bicara) baik-baik,” ujar sang dokter, namun pria itu malah semakin emosi dan melanjutkan kekerasannya.
Dokter yang menjadi korban diketahui merupakan kepala koas dari Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (Unsri).
Kejadian ini kemudian memicu reaksi keras dari sejumlah dokter alumnus Unsri, yang menyayangkan tindak kekerasan tersebut.
Mereka menyatakan kekecewaan, terutama karena insiden ini terjadi akibat perselisihan terkait jadwal jaga malam Lady, yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik.
Salah satu reaksi keras datang dari dr. Moh Ramadhani Soeroso, M.Ked(Paru), Sp.P(K)Onk, atau yang akrab disapa dr. Deni, seorang dokter spesialis penyakit paru.
Dalam unggahan di akun Instagram-nya @denisoeroso, dr. Deni mengingatkan orang tua yang berniat mengkuliahkan anaknya menjadi dokter untuk menanamkan etika dan sopan santun sebagai landasan utama.
Menurut dr. Deni, jika seorang calon dokter tidak memiliki etika yang baik, seperti yang terjadi pada Lady yang dinilai tidak menghormati kepala koas hingga berujung pada pemukulan, maka orang tersebut dinilai tidak cocok menjadi dokter.
“Etika adalah hal pertama yang harus dimiliki oleh calon dokter, baru setelah itu otak yang pintar. Kalau etika tidak bagus, maka tidak akan cocok menjadi dokter,” tegasnya.
dr. Deni menambahkan bahwa seorang dokter harus bisa melayani pasien dengan baik tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi.
Selain itu, dr. Deni juga menyayangkan tindakan Universitas Sriwijaya yang hanya memberikan sanksi skorsing kepada pelaku.
Menurutnya, tindakan tersebut terlalu ringan mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh insiden kekerasan ini.
“Kalau saya jadi konsulennya, saya tolak dan keluarkan koas itu. Kalau jadi dekannya, saya langsung keluarkan, tidak usah lagi kasih skorsing,” ujarnya.
“Etika nomor satu yang dimiliki jika ingin jadi dokter,” tambahnya.
Sebagai bentuk solidaritas terhadap korban, dr. Deni juga menyatakan kesiapan untuk membantu jika ada koas yang mengalami kekerasan atau pemukulan.
“Jangan takut, laporkan. Visum bisa dikenakan pidana terhadap pelaku pemukulan itu. Kalau ada koas saya yang diperlakukan seperti itu, saya siap pasang badan,” katanya dengan tegas.
Kejadian ini menambah panjang deretan masalah yang menyangkut dunia pendidikan kedokteran, khususnya di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, yang kini mendapat sorotan besar terkait penegakan etika dan perlakuan terhadap mahasiswa yang menjalani praktik di rumah sakit.