Pakar: Indonesia Masih Belum Aman dari Ancaman Terorisme
- ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana
Jakarta, VIVA – Pakar terorisme dari Universitas Indonesia (UI), M. Syauqillah, menyebut Indonesia masih belum aman dari ancaman terorisme meski sejak 2023 hingga saat ini tidak ada serangan teroris secara terbuka atau zero terrorist attack di Tanah Air.
"Berkaitan dengan zero terrorist attack, apakah Indonesia betul-betul aman? Menurut saya masih belum, karena penyebaran ideologi teror atau ideologi yang memicu seseorang melakukan aksi terorisme masih ada," kata Syauqillah, saat dihubungi, Jumat, 22 November 2024.
Menurut dia, penyebaran ideologi itu dilakukan oleh kelompok-kelompok teror yang hingga kini masih aktif melakukan konsolidasi dan merekrut anggota baru. Bukti nyata keberadaan kelompok teror itu adalah penangkapan 181 tersangka kasus terorisme sepanjang 2023 hingga November 2024 yang diungkap Kepolisian RI (Polri) beberapa waktu lalu.
"Penangkapan itu artinya kelompok-kelompok teror ini masih terus ada dan aktif melakukan propaganda di media sosial. Penangkapan ini juga berarti bahwa penyebaran ideologi itu ternyata berhasil merekrut anggota-anggota baru untuk kelompok tersebut," ujar Ketua Program Studi Kajian Terorisme UI ini.
Selain itu, Syauqillah melanjutkan, kelompok teror juga masih merencanakan aksi terorisme di Indonesia. Namun beberapa kali aksi terorisme itu digagalkan melalui penangkapan anggota kelompok teror. Sebagai contoh, penangkapan beberapa terduga teroris yang ingin melakukan aksi terorisme di Jakarta dan Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
"Sebelum terjadi aksi terorisme kan sudah bisa dilakukan preventive strike. Karena dari sisi peraturan perundang-undangan, memang diakomodasi untuk melakukan pencegahan sebelum terjadi aksi terorisme," ucap Syauqillah.
Menurut Syauqillah, salah satu kelompok teror di Indonesia yang masih terus bergerak dan terus berupaya melakukan aksi terorisme adalah Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang terafiliasi dengan Negara Islam Irak-Suriah (ISIS). Sejumlah terduga teroris yang ditangkap beberapa waktu lalu terkait dengan kelompok ini.
"Penangkapan-penangkapan terhadap anggota kelompok teror ini menunjukkan bahwa ada upaya mereka untuk muncul atau memperlihatkan diri. Ketika aksi terorisme itu direncanakan, kemudian dicegah, itu artinya kelompok ini masih konsolidatif," kata Syauqillah.
Untuk menyikapi dinamika kelompok teror di Indonesia dan mengantisipasi perkembangan kelompok-kelompok itu, Syauqillah menganggap lembaga-lembaga yang menangani pemberantasan terorisme seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) Polri perlu untuk terus memperkuat sinergitas.
"BNPT sebagai leading sector penanggulangan terorisme yang memainkan peran strategis. Sementara Densus 88 sebagai lembaga penegak hukum dalam konteks operasional penanggulangan terorisme. Sinergi keduanya harus terus dijaga. Lembaga-lembaga lain yang menangani terorisme juga harus terus bersinergi," ujar Syauqillah.
Selain itu, Syauqillah menambahkan, perlu juga ada upaya untuk mengedukasi masyarakat guna mencegah berkembangnya terorisme. "Kalau melihat aksi-aksi terorisme yang terjadi, itu kan berangkat dari intoleransi. Artinya, ada pihak yang merasa pahamnya paling benar, orang lain keliru. Bibit-bibit seperti ini perlu dieliminasi ketika muncul di masyarakat lewat dialog dan musyawarah dengan pendekatan yang baik," ucapnya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengatakan Polri telah menangkap 181 tersangka kasus terorisme selama 2023 hingga 13 November 2024. "Karena memang presiden perintahkan bahwa tidak boleh ada ledakan sekecil apa pun, atau biasa yang kita kenal zero attack," kata Kapolri saat menghadiri HUT ke-79 Korps Brimob Polri, di Depok, Jawa Barat, Kamis, 14 November 2024.