GMKI Kritik Perubahan Status Cagar Alam Mutis Timau NTT: Berpotensi Ciptakan Konflik Sosial

Ketua Umum GMKI Jefri Gultom
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA - Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) menyoroti keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 946 Tahun 2024 yang mengubah status Cagar Alam Mutis Timau di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi Taman Nasional. 

Bisa Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi, Pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6 Didorong Beroperasi Tepat Waktu

GMKI menolak segala bentuk perubahan fungsi kawasan hutan lindung di wilayah tersebut yang terdapat dalam keputusan itu.

Ketua Umum PP GMKI, Jefri Gultom, mengatakan keputusan ini dikhawatirkan berpotensi merusak nilai budaya dan spiritual masyarakat adat Timor. 

Pilkada Usai, GMKI Jakarta Serukan Persatuan dan Penghormatan Hasil Demokrasi

“Gunung Mutis bukan hanya sekadar bentang alam, tetapi juga merupakan pusat kehidupan sosial dan spiritual masyarakat adat di Timor. Ini adalah tanah leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi dan jadi bagian dari identitas mereka,” kata Jefri, dalam keterangannya, Kamis, 14 November 2024. 

Dia menuturkan Gunung Mutis selama ini dihormati sebagai kawasan sakral. Selain itu,  tempat dilangsungkannya ritual adat dan menjadi sumber kearifan lokal. 

Kisah Warga di Desa Banuan NTT, Tempuh 5 Jam Jalan Kaki Demi Dapat Air Bersih

Selain memiliki nilai ekologis yang tinggi, kawasan ini juga jadi simbol peradaban yang menghubungkan masyarakat adat dengan lingkungan hidup mereka. 

Menurut dia, keputusan mengubah status cagar alam ini, bukan hanya mengancam kelestarian lingkungan. Namun, keputusan itu bisa merusak keberlanjutan tradisi serta hak spiritual masyarakat adat Timor.

Jefri menyampaikan pentingnya partisipasi masyarakat adat dalam keputusan terkait perubahan status hutan yang kaya akan nilai budaya tersebut.

Dia mengatakan demikian karena mesti disadari bahwa masyarakat adat sudah merawat kawasan ini selama berabad-abad sebagai penjaga utama dari kelestarian Gunung Mutis. 

"Mengambil keputusan tanpa keterlibatan mereka sama saja dengan mengabaikan hak-hak mereka,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia meminta KLHK segera mengevaluasi ulang keputusan ini. Sebab, keputusan itu berdampak sosial dan budaya yang besar yang bisa terjadi. 

Menurut dia, proses evaluasi juga mesti memperhatikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat adat. Selain itu, bisa melibatkan mereka secara aktif dalam setiap tahapan perencanaan dan pengelolaan kawasan ini.

Jefri menuturkan ancaman terhadap keberagaman budaya dan ekosistem dalam perubahan fungsi cagar alam ini berisiko membuka celah bagi aktivitas pariwisata. Selain itu, pemanfaatan yang bisa mengurangi perlindungan kawasan yang sangat bernilai ekologis tersebut. 

Dalam zonasi Taman Nasional, area bisa dialokasikan untuk zona pemanfaatan yang memungkinkan pembangunan sarana wisata. Kondisi itu dinilai bisa membuka peluang kerusakan lingkungan.

Kata dia, GMKI khawatir keberadaan zona-zona pemanfaatan di kawasan sakral ini akan berdampak pada ekosistem yang rentan dan mengancam keberlanjutan hutan tersebut. Selain itu, khawatir juga soal ketidakpastian mengenai perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam implementasi keputusan ini.

“Meski KLHK menyebut bahwa zonasi akan mengakomodasi aktivitas tradisional masyarakat, kami memandang bahwa ketidakjelasan implementasi di lapangan sangat berpotensi menciptakan konflik sosial, terutama jika masyarakat merasa akses mereka dibatasi atau dialihkan demi kepentingan lain,” jelas Jefri.

Berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor 946 Tahun 2024, status Cagar Alam Mutis Timau diubah menjadi Taman Nasional yang memungkinkan aktivitas masyarakat adat secara legal di zona-zona tertentu. Meski langkah ini diklaim bertujuan mengakomodasi kepentingan masyarakat setempat, GMKI menilai implementasinya tak didukung dengan keterlibatan intensif masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan.

Kekhawatiran itu bisa berujung pada ketidakpuasan sosial dan hilangnya kontrol masyarakat adat terhadap tanah leluhur mereka.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya