Rawan Gesekan, Kewenangan KPK-Kejagung dalam Menangani Korupsi Dinilai Perlu Dievaluasi
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) R. Haidar Alwi meminta DPR untuk mengevaluasi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung dalam menangani tindak pidana korupsi.
"Diharapkan Presiden Prabowo Subianto, Menko Polkam, dan DPR bisa mengevaluasi KPK dan Kejaksaan Agung," ujar Haidar Alwi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan bahwa saat ini ada tiga institusi yang bertugas menangani kasus korupsi, yaitu KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri.
Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK dan Kejaksaan Agung sama-sama dapat menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sementara itu, Polri hanya terbatas pada fungsi penyelidikan dan penyidikan.
Menurut Haidar Alwi, undang-undang sebenarnya telah mengatur dengan jelas kewenangan masing-masing agar tidak tumpang-tindih.
Ia merujuk pada Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang menyatakan kasus korupsi dengan kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar ditangani oleh KPK.
Sementara itu, kasus korupsi yang nilai kerugian negara di bawah Rp1 miliar wajib ditangani atau diserahkan kepada kejaksaan dan Polri.
Akan tetapi, pada pelaksanaannya, KPK yang seharusnya menangani kasus besar justru lebih sering menangani kasus kecil.
Sebaliknya, Kejaksaan Agung justru menangani kasus-kasus besar, seperti Asabri, Jiwasraya, BTS Kominfo, dan kasus timah.
"Hanya Polri yang on the track, tertib sesuai undang-undang," ucap Haidar Alwi.
Ia berpandangan bahwa fenomena matahari kembar KPK dan Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi dapat menimbulkan gesekan antarinstitusi dan kekacauan penegakan hukum, khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, ia menegaskan penting bagi KPK maupun Kejaksaan Agung untuk mengacu pada undang-undang dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya. (ANT)